đź“° Zarof Ricar dan Jejak Emas di Balik Jubah Peradilan: Ketika Integritas Tumbang di Kursi Tinggi Mahkamah
✍️ Oleh Redaksi Edu-Politik.com
Jakarta, Juni 2025 – Di balik wajah tenang dan senyum birokratisnya, Zarof Ricar pernah berdiri di salah satu puncak tertinggi kekuasaan yudikatif sebagai pejabat Mahkamah Agung. Namun kini, ia dikenang bukan karena prestasi keilmuan atau reformasi hukum, melainkan karena vonis 16 tahun penjara, gratifikasi Rp 915 miliar, dan emas 51 kilogram yang membuat institusi kehakiman tercoreng berat.
Zarof, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) MA, didakwa menerima “upeti modern” dari berbagai pihak yang berharap kelonggaran hukum.
đź’° Uang dan Emas: Simbol Kekuasaan yang Salah Arah
Fakta-fakta di persidangan membuat publik tercengang. Zarof tidak hanya menerima uang tunai, tetapi juga emas batangan puluhan kilogram dari berbagai pihak selama kurun waktu 2012–2022. Penelusuran Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa gratifikasi ini bersumber dari para pencari keadilan yang berharap “perlakuan istimewa” dalam proses hukum.
Salah satu yang paling disorot adalah dugaan suap terkait perkara kasasi Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan terhadap Dita Aulia. Dalam kasus ini, Zarof disebut menerima Rp 5 miliar dari kuasa hukum Ronald, Lisa Rachmat, yang menurut jaksa ditujukan untuk “mengamankan putusan” di tingkat Mahkamah Agung.
⚖️ Di Ruang Sidang: Lupa, Mengelak, dan Tangis Penyesalan
Dalam proses peradilan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Zarof tampil seperti “manusia biasa” — terbata-bata, mengaku lupa, dan kadang menangis saat mengingat keluarganya. Namun hakim tetap menjatuhkan hukuman berat: 16 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, serta perampasan aset Rp 915 miliar dan 51 kg emas untuk negara.
Salah satu hakim bahkan sempat menyampaikan bahwa kejahatan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi penghianatan terhadap etika peradilan dan kepercayaan rakyat.
🤝 Antara Tegaknya Hukum dan Luka Institusi
Putusan terhadap Zarof Ricar menandai tonggak penting dalam upaya membersihkan institusi peradilan dari praktik-praktik transaksional. Namun di sisi lain, kasus ini juga meninggalkan luka mendalam. Betapa tidak — seorang figur yang seharusnya mendidik dan melatih ribuan hakim, justru menjadi simbol kebobrokan moral dalam tubuh lembaga keadilan.
📌Saatnya Menjawab dengan Reformasi Nyata
Kasus Zarof membuka ruang perenungan luas. Jika para pelatih hukum bisa menerima suap, bagaimana dengan peserta didik mereka? Jika jubah hakim ternoda emas batangan, apa yang tersisa dari makna keadilan?
Kini, saatnya masyarakat sipil, lembaga hukum, dan dunia pendidikan hukum menjadikan kasus ini sebagai bahan ajar — bukan untuk ditutup-tutupi, tapi untuk diungkap dan direnungi. Karena keadilan bukanlah milik gedung tinggi, tetapi milik nurani publik yang tak pernah lelah bersuara.
📎 Edukasi Politik = Menolak Lupa + Menuntut Bersih
Edu-Politik akan terus mengawal isu-isu strategis seperti ini, bukan demi sensasi, tapi demi satu hal: politik yang mendidik, bukan membodohi.