Yang Ngemis Bergelimang Harta, Yang Memberi Sibuk Utang dan Kerja
Oleh: Redaksi Edu-Politik.com
Di bawah terik matahari simpang lampu merah, seseorang dengan wajah kusut dan pakaian lusuh mengulurkan tangan. Sehelai kertas bertuliskan “mohon bantuannya untuk makan hari ini” menjadi jembatan antara empati dan realitas. Seorang ibu muda dari dalam mobil berseragam kerja membuka kaca dan menyodorkan lembaran lima ribuan. Ia tersenyum kecil, meski pikirannya masih tertambat pada cicilan motor dan uang kontrakan yang belum lunas.
Ironis? Mungkin. Tapi inilah potret paradoksal Indonesia jalanan—di mana yang mengemis bisa menabung, dan yang memberi justru menunda makan siang karena gaji belum turun.
📍 Kasus-Kasus “Ngemis Kaya” yang Terungkap
Bukan sekadar urban legend, ada fakta yang mendukung sisi satir dari kisah ini:
- Tanah Abang, 2019: Seorang pengemis diketahui memiliki rumah permanen senilai ratusan juta di Pandeglang. Dalam sehari, ia bisa mengantongi ratusan ribu rupiah. “Daripada kerja serabutan, mending ngemis,” katanya tanpa rasa bersalah.
- Yogyakarta, 2022: Dinas Sosial DIY mencatat beberapa pengemis profesional menyimpan tabungan dalam bentuk emas, sebagian bahkan bermobil dari rumah ke titik “mengais empati”.
Namun, perlu digarisbawahi: mereka adalah oknum. Seperti kata pepatah, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Tak semua peminta-minta adalah penipu—namun yang memanipulasi belas kasih memang nyata adanya.
🏭 Pemberi: Mereka yang Sibuk dengan Utang dan Kerja
Sementara itu, yang memberi, seringkali berasal dari kelas pekerja—buruh, guru honorer, pegawai kantoran bergaji pas-pasan. Berdasarkan survei OJK tahun 2022:
- 52,5% masyarakat Indonesia punya utang konsumtif.
- Banyak dari mereka bekerja lebih dari 10 jam sehari, dengan gaji minimum dan beban biaya hidup yang terus naik.
Namun, tangan mereka tetap terbuka. Mungkin karena ajaran agama, atau sekadar refleks kemanusiaan, atau bahkan karena mereka tahu: rasa pedih menjadi tidak dianggap lebih berat daripada rasa lapar.
🎭 Antara Fakta dan Kritik Sosial
Ungkapan “yang ngemis bergelimang harta, yang memberi sibuk utang dan kerja” bukan sepenuhnya kebohongan. Tapi juga bukan sepenuhnya kebenaran. Ia adalah cermin—yang jika dibersihkan—memperlihatkan dua sisi:
- Sisi manipulasi, di mana belas kasih dijadikan mata pencaharian.
- Sisi empati masyarakat, yang meski kekurangan, tetap memberi karena nurani.
📣 Redaksi Mengajak: Bijaklah dalam Memberi
Masyarakat perlu didorong untuk beramal secara cerdas.
Bantulah melalui lembaga sosial resmi, masjid, gereja, rumah singgah, atau komunitas yang terverifikasi. Jangan sampai belas kasih kita justru memelihara sistem eksploitatif.
Mungkin kita tak bisa memilih siapa yang meminta. Tapi kita bisa memilih cara membantu. Karena hari ini, bisa jadi tangan yang meminta lebih kaya dari dompet yang memberi.
edu-politik.com
Belajar berpikir, sebelum percaya.