Wajib Tapi Tak Pasti: Menelusuri Jejak Mandatory Spending di APBD 2025
Oleh: Redaksi Edu-Politik.com
Pendidikan 20 persen, Kesehatan 10 persen, dan Infrastruktur Publik 40 persen. Angka-angka ini bukan hasil undian arisan, tapi mandat konstitusional yang membentuk jantung penganggaran daerah tahun 2025. Dalam dokumen bernama Permendagri No. 15 Tahun 2024, negara memerintahkan kepala daerah untuk tidak main-main dalam mengalokasikan anggaran. Sayangnya, “wajib” di atas kertas sering kali tak berarti “pasti” di lapangan.
Antara Ideal dan Realita: Surabaya vs. Grobogan
Surabaya, kota pahlawan, tampaknya masih bisa tersenyum di tengah tekanan fiskal. Dengan APBD senilai Rp 12,3 triliun, alokasi pendidikan menembus angka Rp 2,588 triliun—sekitar 20,96 persen. “Kami tidak sekadar patuh, tapi juga melibatkan banyak OPD dalam penguatan fungsi pendidikan,” kata pejabat setempat dalam rilis resmi.
Berbeda halnya dengan Kabupaten Grobogan. Meskipun mengklaim telah “memenuhi mandatory spending”, laporan menyebutkan bahwa belanja infrastruktur baru menyentuh 22,6%. Padahal, target nasional—yang dikejar layaknya deadline skripsi mahasiswa tingkat akhir—adalah 40 persen paling lambat tahun 2027. Mengapa belum sekarang? “Masih ada waktu,” kata pejabatnya, sambil menatap lembar RAPBD dengan tatapan kosong penuh harap.
Inpres No. 1/2025: Antara Efisiensi dan Ilusi
Presiden yang baru, dalam Inpres No. 1 Tahun 2025, menyerukan efisiensi. Namun, dengan tegas mengingatkan: jangan ganggu anggaran wajib. Artinya, potong pengeluaran lain sesukamu—asal jangan menyentuh tiga ‘keramat’ tadi. Ironisnya, dalam praktiknya, efisiensi sering menjadi alasan pemangkasan program sosial, sementara belanja perjalanan dinas tetap gemuk, dan tunjangan tetap manis.
APBD dan Ruang Gerak yang Kian Sempit
Di sisi lain, data dari pusat menyebutkan bahwa mandatory spending dalam RAPBN 2025 mencapai 72,2% dari total belanja negara. Ini membuat ruang fiskal kian sempit. Namun, perlu dicatat: itu skala APBN—bukan APBD. Perlu ketelitian agar publik tidak tertukar antara pengeluaran negara dengan pengeluaran daerah, seperti mencampur teh dengan kopi—bisa pusing kalau tidak teliti.
Waspada: Mandatory Spending Bukan Sekadar Formalitas
Masalah terbesar bukan pada rumus, melainkan pada implementasi. Banyak daerah menyiasati alokasi “wajib” dengan menggeser kode fungsi atau menyebarkan anggaran ke berbagai OPD tanpa indikator kualitas yang jelas. Pendidikan 20%? Iya, tapi hanya untuk gaji. Infrastruktur 40%? Iya, tapi hanya untuk beton, tanpa ada audit manfaat sosial.
Publik harus waspada: jangan terbuai angka-angka. Yang penting bukan sekadar berapa, tetapi untuk siapa, dan apa dampaknya.
Mandatory spending adalah kewajiban konstitusional dan bentuk keadilan fiskal untuk rakyat. Jangan sampai menjadi mitos tahunan dalam dokumen APBD. Kita butuh pemimpin daerah yang tidak sekadar menghitung, tapi juga memikirkan makna dari setiap rupiah yang dibelanjakan.
edu-politik.com
Meluruskan yang bias, menyuarakan yang penting.