Wajah HIV di Blitar: Ketika Data Meningkat, Harusnya Empati yang Dilipatgandakan
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
“HIV bukan hanya soal statistik, tapi soal manusia—yang hidup, bernapas, dan layak dipahami.”
Awal 2025 belum genap melewati enam bulan, tetapi Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar sudah mencatat 92 kasus baru HIV/AIDS hingga Maret saja. Angka ini mengejutkan, mengingat sepanjang tahun 2023 lalu tercatat 199 kasus.
Tren ini mengindikasikan satu hal: penularan HIV di Blitar belum terkendali, meski program edukasi terus dijalankan.
Namun yang menyedihkan, publik lebih dulu terjebak dalam angka-angka dan label, daripada mendengar suara para penyintas.
Ketika Data Dipotong dari Konteks
Beberapa media lokal memberitakan bahwa “30 persen pengidap HIV di Blitar adalah Lelaki Seks Lelaki (LSL)”. Ada yang menyebut angkanya “96 orang” – bahkan tanpa menyebut periode data. Narasi ini kemudian viral, memancing prasangka, dan membangun opini bahwa kelompok LSL adalah penyebab utama lonjakan kasus HIV.
Namun jika dirujuk ke data resmi Dinkes Blitar, faktanya tidak demikian.
Pada triwulan pertama 2025, dari 92 kasus baru, kelompok LSL tercatat menyumbang 14 kasus — atau sekitar 15%, bukan 30%. Sisanya berasal dari kelompok “pasangan berisiko tinggi”, heteroseksual, dan ibu rumah tangga.
Artinya, penyebaran HIV tidak terjadi dalam satu spektrum kelompok, melainkan lintas identitas. Tapi mengapa hanya satu kelompok yang dijadikan sorotan?
Stigma yang Lebih Berbahaya dari Virusnya
Seorang aktivis kesehatan di Blitar yang enggan disebut namanya mengatakan:
“Masalah kita bukan cuma virus, tapi cara kita memperlakukan mereka yang terinfeksi. Saat orang takut ke Puskesmas karena malu, itu lebih mematikan dari HIV itu sendiri.”
Narasi yang salah kaprah bisa membuat masyarakat enggan melakukan tes, enggan berobat, bahkan enggan berbicara. Mereka menyembunyikan statusnya, menyembunyikan tubuhnya, hingga akhirnya virus itu menyebar diam-diam.
Data Boleh Naik, Tapi Jangan Bikin Empati Turun
Dinas Kesehatan Blitar telah bekerja keras mendeteksi dan membuka layanan konseling serta pengobatan. Tes HIV gratis, konseling privat, dan edukasi telah digalakkan di berbagai kecamatan.
Namun jika masyarakat hanya membaca berita soal “kelompok LSL penyumbang HIV terbanyak” tanpa konteks lengkap, maka hasil kerja keras tenaga kesehatan bisa sia-sia.
Kita butuh:
- Narasi yang tidak menyudutkan kelompok tertentu
- Pendidikan publik tentang cara penularan HIV (bukan lewat sentuhan, pelukan, atau batuk)
- Dukungan sosial terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) untuk hidup normal dan produktif
Epilog: Saatnya Bicara dengan Nurani, Bukan Hanya Statistik
Kenaikan angka HIV di Blitar adalah alarm. Tapi bukan alarm untuk menghakimi. Melainkan alarm untuk bergerak lebih cerdas dan manusiawi.
Karena virus ini bisa menyerang siapa saja. Lelaki, perempuan, gay, hetero, pelajar, bahkan ibu rumah tangga. Bukan soal orientasi. Ini soal akses informasi, layanan kesehatan, dan keberanian kita untuk tidak mendiskriminasi.
pelajaran penting:
🛑 Hentikan stigmatisasi kelompok rentan
🗣️ Mulai kampanye empatik dan edukatif
📊 Baca data dengan hati, bukan hanya kalkulator