Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia mengalami perjalanan panjang dengan berbagai perubahan regulasi yang mencerminkan dinamika politik dan sosial negara. Berikut adalah garis besar sejarah perkembangan Undang-Undang (UU) yang mengatur Pilkada di Indonesia:
1. Era Awal: Orde Baru
Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan rekomendasi dari pemerintah pusat. Proses pemilihan ini sangat sentralistis, dengan pengaruh kuat dari pemerintah pusat terhadap keputusan di daerah. Hal ini menimbulkan kritik karena kurangnya demokrasi dan keterlibatan langsung masyarakat dalam memilih pemimpin daerah.
2. Reformasi dan Desentralisasi (1999)
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang ditandai dengan upaya untuk desentralisasi dan demokratisasi. Perubahan besar pertama dalam sistem Pilkada terjadi dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah dan memungkinkan DPRD untuk memilih kepala daerah tanpa campur tangan langsung dari pemerintah pusat.
3. Pilkada Langsung (2004)
Tuntutan reformasi yang lebih dalam dan aspirasi masyarakat untuk demokrasi yang lebih partisipatif mendorong perubahan signifikan dalam sistem Pilkada. Hal ini terwujud dengan disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Implementasi Pilkada langsung pertama kali dilakukan pada tahun 2005, memungkinkan masyarakat untuk memilih langsung gubernur, bupati, dan wali kota.
4. Penyempurnaan UU Pilkada (2008)
Pada tahun 2008, UU No. 32 Tahun 2004 mengalami revisi dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2008. Perubahan ini bertujuan untuk menyempurnakan proses Pilkada, termasuk memperbaiki mekanisme pengawasan dan penyelesaian sengketa Pilkada, serta mengatur lebih rinci mengenai teknis penyelenggaraan Pilkada.
5. Kontroversi dan Perubahan (2014)
Pada tahun 2014, terjadi kontroversi besar ketika DPR mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 yang mengembalikan sistem Pilkada kepada DPRD. Hal ini memicu protes luas dari masyarakat yang merasa bahwa hak mereka untuk memilih langsung pemimpin daerahnya diambil kembali. Sebagai respon atas protes tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 yang mengembalikan Pilkada langsung. Perppu ini kemudian disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 oleh DPR.
6. UU Pilkada Terbaru (2016)
Untuk menyempurnakan aturan terkait Pilkada langsung, DPR mengesahkan UU No. 10 Tahun 2016 yang merupakan revisi dari UU No. 1 Tahun 2015. UU ini memperbaiki berbagai aspek teknis dan substantif Pilkada, termasuk mekanisme penyelenggaraan Pilkada serentak, pengaturan kampanye, serta pengawasan dan penegakan hukum terkait Pilkada.
7. Pilkada Serentak (2020 dan Seterusnya)
Salah satu inovasi penting dalam UU No. 10 Tahun 2016 adalah pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015, dan berikutnya diadakan pada 2017, 2018, dan 2020. Pilkada serentak ini bertujuan untuk menyelaraskan jadwal pemilihan kepala daerah dengan pemilihan umum nasional, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu.
Kesimpulan
Sejarah UU Pilkada di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokrasi langsung. Perubahan regulasi ini bertujuan untuk memberikan hak lebih besar kepada rakyat dalam menentukan pemimpinnya, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan daerah, serta memperkuat demokrasi di tingkat lokal. Perjalanan ini terus berlanjut dengan berbagai penyempurnaan yang dilakukan untuk memastikan Pilkada dapat berjalan dengan lebih baik dan demokratis.