Tebu Manis, Hidup Pahit: Ironi Petani Tebu Kediri dalam Bayang-bayang Harga dan Waktu
Oleh: Redaksi Edu-Politik.com
Kediri – Di tengah hamparan hijau tanaman tebu yang melambai diterpa angin, berdiri sosok Pak Karyo (56), seorang petani dari Desa Ngancar, Kabupaten Kediri. Ia menyeka peluh dengan ujung lengan bajunya yang lusuh, sembari menatap batang-batang tebu yang belum siap panen.
“Masih lima bulan lagi, tapi utang pupuk sudah jatuh tempo,” keluhnya lirih. Di balik kebun yang tampak menjanjikan itu, tersembunyi realitas getir: harga gula yang tak pasti, biaya produksi tinggi, dan siklus panen yang membuat petani menunggu nyaris setahun untuk sekali bayaran.
Komoditas Penting, Tapi Rakyat Kalah
Tebu adalah salah satu komoditas andalan nasional. Tapi di lapangan, petani seperti Pak Karyo tidak merasakan manisnya industri ini. Justru sebaliknya—mereka tersandera harga yang fluktuatif dan siklus tanam yang panjang.
Tidak seperti padi yang bisa dipanen 3–4 bulan sekali, tebu baru bisa dipanen 10–12 bulan setelah tanam. Selama itu, petani harus terus mengeluarkan biaya: bibit, pupuk, air, hingga sewa lahan. Belum lagi jika hama menyerang di tengah jalan.
“Kalau padi bisa kita tanam 2-3 kali setahun. Tebu? Nunggu satu tahun, tapi kadang cuma dapat Rp 4 juta per hektar setelah dipotong semua,” kata Siti Rohani (43), petani perempuan dari Kecamatan Wates.
Harga Tak Berpihak, Koperasi Tak Kuasa
Ketika musim panen tiba, petani masih harus bergantung pada pabrik gula dan tengkulak. Harga gula di pasar internasional, kebijakan impor, serta permainan pasar bebas membuat harga tebu tak stabil.
“Kadang Rp 60.000 per kwintal, kadang anjlok jadi Rp 40.000. Padahal biaya produksi terus naik,” ungkap salah satu ketua kelompok tani di Pare.
Meski ada koperasi, sebagian besar petani tidak merasakan perlindungan nyata. Bahkan, banyak koperasi dianggap hanya menjadi “perpanjangan tangan” pabrik—bukan pelindung petani kecil.
Potret di Layar, Nyata di Sawah
Tayangan Indonesiaku Trans7 pada Selasa, 1 Juli 2025, pukul 12.45 WIB mengangkat tema ini dengan jujur dan menyentuh. Narasi visual memperlihatkan rumah-rumah reot petani tebu, tumpukan utang di musim tanam, dan harapan yang makin tipis ketika harga terus tak menentu.
Bagi sebagian penonton di kota, ini mungkin sekadar dokumenter kemiskinan. Tapi bagi petani seperti Pak Karyo, ini adalah hidup sehari-hari—tanpa jeda, tanpa sensor.
Solusi yang (Masih) Tertunda
Apa yang dibutuhkan petani tebu?
- Subsidi pupuk dan benih yang tepat sasaran, bukan hanya untuk petani besar.
- Kebijakan penyangga harga tebu, agar petani tidak terus-menerus dirugikan oleh fluktuasi pasar.
- Diversifikasi usaha tani untuk menutup jeda waktu panen.
- Reformasi koperasi, agar berorientasi pada petani, bukan pada pabrik.
- Keterlibatan anak muda dan teknologi, agar sektor tebu tidak ditinggalkan generasi berikutnya.
Penutup: Yang Manis Tak Selalu Menguntungkan
Ironi petani tebu di Kediri menggambarkan wajah pertanian nasional kita: kaya komoditas, miskin perhatian. Ketika segelas teh manis kita hirup di pagi hari, ada puluhan ribu petani yang memendam getir karena jerih payahnya tak dibayar pantas.
Bagi negara, tebu mungkin sekadar statistik dan komoditas. Tapi bagi petani, tebu adalah hidup mereka—dan harapan terakhir agar anak-anak mereka bisa lepas dari jerat kemiskinan yang turun-temurun.
📌 Edu-Politik.com mengajak pembaca tidak hanya melihat penderitaan petani sebagai tontonan, tetapi sebagai bahan refleksi: apakah kebijakan kita benar-benar berpihak pada akar rumput?