Sifat Orang Beriman dalam Memahami Rezeki dan Kewajiban Berusaha
Dalam Islam, orang yang beriman memiliki keyakinan penuh terhadap ketentuan Allah, termasuk dalam hal rezeki. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki kuasa mutlak dalam memberikan rezeki kepada siapa saja sesuai kehendak-Nya. Namun, pemahaman yang tepat terhadap konsep ini harus mencakup dua aspek penting: ketetapan Allah (takdir) dan kewajiban manusia untuk berusaha.
1. Logika Ketetapan Allah dalam Rezeki
Allah Maha Mengetahui keadaan setiap hamba-Nya, sehingga pembagian rezeki yang Dia tentukan bukanlah tanpa hikmah. Beberapa prinsip yang perlu dipahami:
- Rezeki Tidak Selalu Berarti Kekayaan Materi: Allah memberikan rezeki dalam berbagai bentuk—harta, kesehatan, ilmu, keberkahan waktu, atau ketenangan jiwa. Tidak semua orang diuji dengan kekayaan, dan tidak semua yang miskin berarti terzalimi.
- Kelapangan dan Kesempitan adalah Ujian: Baik kekayaan maupun kemiskinan merupakan ujian keimanan. Orang kaya diuji apakah mereka bersyukur dan berbagi, sedangkan orang miskin diuji dalam kesabaran dan ketawakalan.
- Allah Memberi Sesuai Kebutuhan dan Hikmah: Tidak semua orang siap dengan kekayaan besar, dan tidak semua orang tahan dengan kemiskinan. Allah memberi rezeki sesuai dengan kapasitas dan ujian yang tepat bagi setiap individu.
2. Mengapa Manusia Tetap Harus Berusaha?
Jika Allah telah menetapkan rezeki, mengapa manusia tetap harus bekerja keras? Inilah letak keseimbangan antara takdir dan usaha dalam Islam:
- Ikhtiar adalah Perintah Allah: Allah memerintahkan manusia untuk mencari rezeki melalui usaha yang halal. Dalam QS. Al-Jumu’ah: 10, Allah berfirman:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah…”
Ayat ini menegaskan bahwa mencari nafkah adalah bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah. - Sunnatullah (Hukum Sebab-Akibat): Allah menciptakan dunia dengan hukum kausalitas. Jika seseorang ingin berhasil, maka ia harus bekerja keras dan mengikuti aturan kehidupan yang Allah tetapkan.
- Meneladani Nabi dan Orang Saleh: Para nabi dan sahabat tidak berpangku tangan menunggu rezeki turun dari langit. Rasulullah ﷺ sendiri seorang pedagang, Nabi Daud bekerja sebagai pandai besi, dan Nabi Zakaria seorang tukang kayu.
3. Menjaga Keseimbangan: Tawakal dan Usaha
Seorang mukmin sejati bukan hanya beriman kepada takdir Allah tetapi juga menjalankan usaha terbaiknya dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa meskipun rezeki sudah ditetapkan, manusia tetap harus berusaha, sebagaimana burung yang keluar mencari makan setiap hari.
Kesimpulan
Orang beriman memahami bahwa rezeki datang dari Allah, tetapi manusia tetap harus berusaha dengan cara yang halal. Keyakinan ini melahirkan keseimbangan dalam hidup:
- Tidak sombong saat diberi kelapangan, karena itu adalah titipan dan ujian.
- Tidak putus asa saat rezeki terasa sempit, karena Allah lebih mengetahui kebutuhannya.
- Berusaha dengan maksimal, karena Allah menetapkan hasil sesuai usaha.
- Bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena Dia yang menentukan hasil akhir.
Inilah logika keimanan dalam memahami rezeki: berusaha sebaik mungkin, lalu berserah diri kepada Allah dengan penuh keyakinan.