Putus Tunangan dan Tuntutan Tak Masuk Akal – Ketika Cinta Usai, Logika Harus Bicara
Jakarta – Putus cinta sudah cukup menyakitkan. Tapi bagaimana jika setelah tunangan batal, Anda masih harus menghadapi tagihan dari keluarga mantan, berisi rincian seperti biaya hotel semalam, uang makan sehari, sewa mobil, bensin, hingga kue-kue hantaran? Itulah yang dialami Rani (nama samaran), seorang perempuan yang kini sedang mencoba berdiri kembali setelah hubungan yang ia kira akan berakhir di pelaminan, justru kandas dan menyisakan tuntutan tak masuk akal.
Ketika Tunangan Berakhir, Apa yang Sebenarnya Wajib Dikembalikan?
Secara hukum, di Indonesia, pertunangan bukanlah perjanjian sah seperti pernikahan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur soal tunangan. Artinya, jika hubungan pertunangan batal, tidak ada kewajiban hukum untuk “mengganti rugi” seperti layaknya sebuah kontrak bisnis.
“Yang lazim dikembalikan itu cincin dan mungkin uang dapur, bila memang ada dan disepakati sebelumnya. Tapi hal-hal di luar itu, seperti bensin, hotel, makanan, ya itu bukan tanggung jawab hukum,” jelas seorang pengacara keluarga yang kerap menangani kasus serupa.
Cincin pertunangan dianggap simbol, bukan utang. Dan dalam banyak kasus, pihak yang menerima biasanya mengembalikan sebagai bentuk penghormatan, bukan kewajiban.
Tuntutan yang Keluar dari Nalar
Kepada redaksi, Rani menceritakan bahwa tak lama setelah pertunangan dibatalkan, pihak keluarga mantan tunangannya menghubungi dengan daftar tuntutan panjang. “Katanya saya harus bayar 15 juta, karena mereka nginep semalam di hotel waktu ke rumah saya, sewa mobil, beli kue basah, makan, bensin. Saya syok. Padahal saya nggak pernah janji akan ganti biaya itu,” ujarnya.
Rani merasa diposisikan sebagai pihak yang ‘berutang’ atas kegagalan hubungan yang tidak berjalan sesuai harapan. Padahal, menurutnya, keputusan membatalkan pertunangan didasari pertimbangan serius dan proses yang tidak seketika.
Dari sisi hukum, beban pembiayaan seperti hotel atau logistik acara kunjungan tidak bisa serta merta dibebankan ke pihak perempuan. Apalagi jika tidak pernah ada kesepakatan sebelumnya. “Kalau tidak ada bukti tertulis atau kesepakatan jelas, klaim-klaim semacam itu lemah di mata hukum,” kata pakar hukum perdata dari salah satu universitas negeri di Jakarta.
Etika dan Emosi yang Kerap Tumpang Tindih
Dalam budaya kita, pertunangan memang sering dianggap ‘setengah jalan’ menuju pernikahan. Maka ketika kandas, tak sedikit yang kecewa lalu membawa urusan ke ranah emosional—bahkan finansial. Tapi dalam konteks hukum, segala sesuatu harus berdasar pada akal sehat dan bukti.
“Kadang yang diminta bukan karena benar-benar mau diganti, tapi lebih ke bentuk kemarahan atau pelampiasan emosi,” ujar seorang mediator keluarga yang biasa menangani konflik pasca putus tunangan. Ia menambahkan, penyelesaian semacam ini seharusnya bisa dikomunikasikan secara dewasa dan proporsional.
Langkah yang Bijak: Tegas Tapi Tetap Sopan
Rani sendiri memutuskan untuk bersikap tenang, meski dalam hati ia merasa dituduh dan dipermalukan. Ia menyusun jawaban yang sopan namun jelas:
“Terima kasih atas semua yang sudah dilakukan selama proses pertunangan. Namun, saya tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut karena biaya-biaya itu bukan tanggung jawab saya dan tidak pernah disepakati sejak awal.”
Jawaban seperti ini, kata pakar komunikasi konflik, adalah bentuk perlawanan yang tetap menjaga martabat. Tidak perlu berdebat panjang, cukup satu penjelasan tegas yang mengacu pada logika dan hukum.
Jika Masih Ditekan, Ada Jalur Hukum
Meskipun tuntutan semacam ini jarang sampai ke pengadilan, tekanan yang berlebihan bisa dilaporkan sebagai bentuk intimidasi atau perbuatan tidak menyenangkan. Jika keluarga mantan terus menerus menekan, mengancam, atau mempermalukan, korban bisa mencari bantuan hukum.
“Konsultasikan ke pengacara. Jangan hadapi sendiri. Hukum ada untuk melindungi hak Anda,” saran pengacara publik dari lembaga bantuan hukum perempuan.
Penutup: Cinta Bisa Usai, Tapi Harga Diri Tetap Milik Anda
Putus tunangan memang bukan akhir yang ideal. Tapi jika itu terjadi, tak seharusnya menjadi ajang penagihan yang tidak rasional. Cinta bisa gagal, tapi martabat harus tetap dijaga. Sebab yang paling penting setelah semua ini bukan lagi soal siapa yang salah, tapi bagaimana kita melindungi diri, tetap waras, dan melanjutkan hidup dengan kepala tegak.
Rani kini sedang memulai ulang—bukan hanya dari hubungan, tapi dari caranya memandang harga diri. Ia tak menyesal pernah percaya, hanya lebih berhati-hati agar tak membayar mahal atas kesalahan yang bukan miliknya.