“Presiden Perintah, Menkeu yang Pusing”: Di Balik Candaan, Ada Seriusnya Fiskal Negara
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
“Enaknya jadi Presiden, tinggal perintah. Yang pusing Menteri Keuangan.”
— Presiden Prabowo Subianto, 12 Juni 2025.
Suasana gedung Mahkamah Agung riuh rendah. Bukan karena sidang besar, tapi karena guyonan seorang kepala negara. Dalam acara Pengukuhan Hakim Mahkamah Agung, Presiden Prabowo Subianto melempar candaan yang langsung viral: “Enaknya jadi Presiden, tinggal perintah. Yang pusing Menteri Keuangan.”
Tawa meledak. Tapi di balik tawa itu, tersembunyi realitas berat: tata kelola fiskal negara memang tidak semudah melempar instruksi. Kalimat jenaka itu menyiratkan sebuah potret pemerintahan yang kompleks—di mana visi dan realisasi tak selalu bertemu di satu garis lurus.
Instruksi Presiden, Kalkulasi Menkeu
Dalam forum tersebut, Presiden Prabowo mengungkapkan keinginannya menaikkan gaji para hakim secara signifikan. Bahkan, angkanya disebut bisa mencapai 280%, sebagai bentuk penghargaan terhadap integritas, serta langkah strategis meminimalisir potensi korupsi dalam sistem peradilan.
Namun begitu, Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan tak langsung mengangguk. Seperti biasa, ia memilih berbicara lewat angka.
“Ibu Sri Mulyani sempat bilang bisa dinaikkan sedikit. Saya bilang jangan! Jangan setengah-setengah!” ungkap Prabowo disambut tepuk tangan.
Dalam konteks inilah, muncul candaan “Menkeu yang pusing”—menandakan bahwa di balik visi Presiden, ada pekerjaan rumah besar bagi bendahara negara: menjaga keberlanjutan fiskal, mengatur belanja negara yang sudah kompleks, dan memastikan bahwa setiap keputusan politik tak menggerus stabilitas ekonomi.
Di Antara Fiskal Realistis dan Fiskal Responsif
Pernyataan Prabowo tidak berdiri sendiri. Ia menunjukkan dinamika hubungan antara pemimpin politik dan pemegang kendali fiskal. Di era pemerintahan modern, kepala negara tak lagi hanya simbol kekuasaan, tetapi pengarah kebijakan.
Namun, setiap perintah presiden harus dibingkai oleh kemampuan anggaran. Apalagi saat ruang fiskal negara tengah ketat akibat belanja subsidi, proyek IKN, dan beban utang jatuh tempo tahun anggaran 2025/2026.
Pakar ekonomi fiskal bahkan menyebut dinamika ini sebagai titik temu antara “politik harapan” dan “anggaran kenyataan.”
Sri Mulyani: Bendahara Negara yang Rasional
Sri Mulyani tak memberikan respons emosional. Ia tetap menjalankan fungsinya sebagai pengatur fiskal yang rasional dan berhati-hati. Dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan pentingnya menjaga disiplin anggaran, menghindari kebijakan populis yang bisa merusak fondasi ekonomi jangka panjang.
Di banyak negara, ketegangan seperti ini lazim. Presiden Amerika pernah berselisih dengan Menkeu soal debt ceiling. Kanselir Jerman harus berdebat dengan Menteri Keuangan soal belanja sosial. Artinya, dinamika antara Presiden dan Menkeu justru menandakan fungsi check and balance dalam kabinet yang sehat.
Candaan yang Mendidik
Meski kalimat Prabowo bernada santai, isi pesannya sangat edukatif. Bahwa:
- Presiden menetapkan arah politik (gaji hakim naik),
- Menteri Keuangan harus menerjemahkannya dalam postur anggaran negara,
- Semua berjalan dalam satu sistem yang saling menyeimbangkan.
Justru di sinilah pentingnya transparansi fiskal. Masyarakat perlu tahu dari mana uang kenaikan gaji hakim diambil. Apakah mengurangi belanja militer? Apakah menggeser anggaran proyek lain? Ini bukan hanya soal bisa atau tidak, tapi soal prioritas dan keberlanjutan fiskal negara.
Epilog: Antara Visi dan Perhitungan
Candaan Presiden Prabowo menyentuh satu hal penting: menjadi pemimpin adalah soal visi besar. Tapi menjalankan pemerintahan adalah tentang kalkulasi. Dan dalam negara hukum, keduanya harus saling menguatkan, bukan menegasikan.
Dalam demokrasi yang sehat, bukan masalah jika presiden memberi perintah dan menteri keuangan pusing. Yang penting, keduanya duduk bersama, menyatukan logika fiskal dan visi kerakyatan dalam satu keputusan yang adil dan berkelanjutan.
Edu-Politik merekomendasikan:
- Evaluasi publik atas alokasi belanja negara secara transparan
- Penguatan literasi fiskal rakyat agar bisa mengawal kebijakan presiden dan DPR
- Menjaga keseimbangan antara kebijakan populis dan kemampuan anggaran negara
Karena pemimpin boleh bercanda, tapi anggaran negara tak bisa dibohongi.