Penjaga Republik: Saat Demokrasi Diuji, Siapa yang Berdiri di Garis Depan?
edu-politik.com – 21 Agustus 2025
“A spectre is haunting Europe—the spectre of communism.” Kalimat pembuka dari The Communist Manifesto karya Karl Marx dan Friedrich Engels pada 1848 itu, kembali relevan ketika Sukidi, pemikir kebinekaan, menulis analisis politik di harian Kompas hari ini (21/8). Namun, hantu yang dimaksud Sukidi bukanlah komunisme, melainkan otoritarianisme—bayangan gelap yang bisa hadir kapan saja dalam kehidupan bernegara.
Menurut Sukidi, demokrasi yang sehat hanya bisa bertahan bila rule of law dijunjung tinggi. Ketika supremasi hukum melemah, ruang kosong itu segera diisi oleh otoritarianisme. “Ketika hukum diubah menjadi instrumen otoritarianisme, maka hukum digantikan pemerintahan otoriter yang melucuti demokrasi hukum,” kutip Sukidi merujuk pada Rhen-Ghiat dalam Strongmen: Mussolini to the Present.
Ancaman dari Dalam
Tulisan Sukidi menegaskan, tantangan republik justru lahir dari dalam negeri sendiri. Militerisasi kehidupan sipil, praktik penyelenggaraan negara yang buruk, hingga munculnya fenomena kakistokrasi—pemerintahan oleh orang-orang yang paling buruk—semua menjadi tanda bahaya.
Ia mengingatkan, presiden dan pejabat publik seharusnya bukan hanya memegang kekuasaan, tetapi juga amanah luhur: memiliki “jiwa baik, bersih, dan merdeka,” seperti pesan Bung Karno. Tanpa itu, republik akan berjalan menuju kehancuran.
Pesan dari Para Pendiri Bangsa
Dalam refleksi sejarah, Sukidi mengutip pesan Bung Karno yang mengingatkan bahwa “Bangsa yang tidak mempunyai adreg, endrag, gedrag (semangat, kepribadian, karakter), dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dan hilang dari muka bumi.” Pesan itu beririsan dengan pemikiran Bung Hatta soal Karakter Bangsa, bahwa republik hanya bisa bertahan bila warga negara mencintai kebenaran.
Kebenaran, tegas Sukidi, bukan sekadar jargon, melainkan komitmen penuh untuk melawan kebohongan dan propaganda otoritarian.
Refleksi untuk Kita Semua
Analisis ini tidak hanya menyasar elit politik. Ia juga menjadi refleksi untuk masyarakat luas—bahwa menjaga republik bukan sekadar tugas tentara atau politisi, tetapi kewajiban setiap warga negara.
Sukidi menutup tulisannya dengan mengingatkan bahaya yang pernah diuraikan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism: propaganda yang menumpuk kebohongan akhirnya melahirkan kekuasaan yang anti-kebenaran. Maka, menjaga republik berarti terus meluruskan arah negara agar tetap berlandaskan pada nilai kebenaran publik.
Pelajaran Politik
Feature ini memberi kita pelajaran penting: Republik bukanlah hadiah abadi. Ia bisa rapuh bila ditinggalkan tanpa penjaga. Siapa “penjaga republik” itu? Jawabannya: kita semua, dengan teguh menjaga hukum, kebenaran, dan keadilan sosial.
📌 edu-politik.com akan terus menghadirkan konten politik yang mencerahkan, agar publik mampu membaca tanda zaman dan mengambil sikap yang tepat.