Pemilu Serentak: Ketika Demokrasi Lelah, Tapi Tetap Diminta Lari Maraton
Oleh: Redaksi Edu-Politik
Jakarta – Sejak Republik ini mengenal konsep “serentak”, hidup penyelenggara pemilu menjadi tidak lagi tenang. 2019 adalah pemanasan, 2024 adalah uji nyali. Kalau sebelumnya pemilu itu seperti lomba lari estafet—Presiden dulu, lalu legislatif, kemudian pilkada—kini semua digabung dalam satu sirkus politik yang disebut “serentak”. Sosiolog menyebutnya sebagai bentuk “ritual demokrasi massal yang nyaris menyerupai kerja rodi”.
Tak heran, dari TPS ke TPS kita tidak hanya melihat kertas suara, tapi juga wajah-wajah petugas yang mulai mempertanyakan makna hidup. Di beberapa tempat, saksi partai bahkan sempat mengira mereka sedang ikut tes CPNS karena harus menandatangani begitu banyak formulir.
“Demokrasi yang lelah,” ujar Dr. Fulan, ahli sosiologi politik dari Universitas yang namanya panjang. Menurutnya, dalam Pemilu Serentak, beban administratif, psikologis, dan sosial dialami oleh semua lapisan: petugas, peserta, bahkan pemilih.
“Di 2024, kita tak hanya memilih pemimpin, tapi juga menguji batas kewarasan bangsa,” imbuhnya.
Serentak: Ide Mulia, Eksekusi Nan Lelah
Pemilu Serentak adalah seperti janji kampanye: terlihat rapi dalam brosur, kacau dalam pelaksanaan. Dengan niat efisiensi dan penghematan anggaran, semua agenda elektoral dijejalkan dalam satu siklus. Yang terjadi justru kebingungan massal. Tak hanya pemilih yang bingung, petugas KPPS juga, bahkan sistem teknologi informasi pemilu kadang memilih hang sebagai bentuk protes diam.
Ruang Lingkup Kajian Sosiologi
Jika menggunakan kacamata sosiologi, Pemilu Serentak ini merupakan social system overload. Sosiolog Syarifuddin Jurdi dari UIN Makassar menyebutnya sebagai “penumpukan kerja politik” yang berujung pada beban struktural. Dalam sosiologi politik, hal ini menunjukkan bagaimana sistem politik gagal menyesuaikan ritme kerja institusinya dengan daya dukung masyarakat.
Sementara dalam sosiologi organisasi, kita melihat efeknya berupa burnout struktural di tingkat KPPS. Dalam sosiologi hukum, kerumitan regulasi pemilu menciptakan “kebingungan legal” yang bisa memperburuk legitimasi hasil.
Demokrasi ala Maraton Tanpa Air Mineral
Tahun 2024 jadi saksi bahwa demokrasi di Indonesia bukan cuma soal partisipasi, tapi juga soal stamina. Di banyak tempat, petugas KPPS hanya dibekali kotak suara, surat suara, dan… doa.
“Saya sudah nggak peduli siapa yang menang, asal saya bisa pulang,” kata salah satu petugas KPPS yang wajahnya terlihat lebih lelah dari keyboard rekapitulasi.
Namun, seperti biasa, elite politik tetap optimis. Mereka menyebut proses ini sebagai “progres demokrasi”. Bagi mereka, semakin rumit prosesnya, semakin sah hasilnya. Bahkan kalau perlu, tahun 2029 nanti kita gabungkan Pemilu, Pilkada, Pilpres, Ujian Nasional, dan Tes CPNS jadi satu. Sekalian saja.
Pemilu Serentak memang niat baik. Tapi seperti semua niat baik, jika tidak dirancang dengan matang, ia bisa berakhir sebagai lelucon yang tidak lucu. Dan seperti biasa, rakyat tetap diminta tertawa.