Pajak Tambang Rp 23 Miliar di Balik Proyek Semantok: PAD yang Terlupa?
Nganjuk, edu-politik.com — Di tengah kemegahan pembangunan Bendungan Semantok, yang diklaim sebagai bendungan terpanjang di Asia Tenggara dengan panjang hampir 3,1 kilometer dan tinggi ±38 meter, sebuah ironi muncul ke permukaan: potensi penerimaan pajak daerah hingga Rp 23 miliar dari aktivitas tambang urugan diduga belum tertagih.
Sejumlah tokoh masyarakat menyoroti hal ini sebagai “PAD yang terlupakan”. Bukan hanya soal nominal, tetapi juga prinsip keadilan fiskal dan tata kelola yang akuntabel.
“Bayangkan, volume urugan diperkirakan mencapai 4,7 juta meter kubik. Jika dikalikan tarif pajak galian C sebesar Rp 5.000 per meter kubik, nilainya sekitar Rp 23 miliar. Tapi sampai hari ini, belum jelas siapa yang membayar, dan apakah sudah dibayarkan ke kas daerah atau belum,” ujar Ir. Hery Indarto, pemerhati kebijakan publik.
Bendungan Raksasa, Pajak yang Menguap
Bendungan Semantok dibangun untuk kepentingan nasional: menyediakan air irigasi seluas 1.900 hektare, mengendalikan banjir, dan menyuplai air baku hingga 1.000 liter per detik. Namun, dalam proses pembangunan infrastruktur negara ini, bahan urugan — tanah, batu, dan material tambang — diambil dari dua titik utama: Desa Salamrojo dan Bendoasri.
Kegiatan itu tentu tidak gratis. Sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nganjuk No. 08 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, setiap pengambilan mineral bukan logam dan batuan (galian C) wajib dikenai pajak.
Namun, alih-alih menjadi tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD), hasil penggalian itu justru menyisakan tanda tanya besar.
Pemerintah Daerah: Lengah atau Lupa?
Fakta ini mencuat karena keresahan publik yang menilai Pemkab Nganjuk seakan ‘melupakan’ kewajiban menagih pajak kepada kontraktor pelaksana atau penambang lokal yang menyuplai material ke proyek bendungan nasional.
“Apa gunanya punya Perda kalau tidak ditegakkan? Ini bukan soal mencari-cari kesalahan, tapi soal hak daerah. PAD itu darah pembangunan lokal,” kata Sumarsono, warga dan aktivis pemuda Salamrojo.
Sampai berita ini diturunkan, pihak Pemkab Nganjuk belum memberikan penjelasan resmi soal status pemungutan pajak ini, meskipun beberapa aktivis telah mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana dijamin dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
DPRD: Diam Seribu Bahasa
Tidak hanya eksekutif yang menjadi sorotan, lembaga legislatif daerah juga turut dinilai pasif. Padahal, fungsi pengawasan anggaran dan pemungutan pajak daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari mandat DPRD.
“DPRD seharusnya bersuara lantang. Mereka punya hak interpelasi, hak angket, bahkan bisa memanggil dinas terkait untuk menjelaskan. Kenapa ini justru dibiarkan senyap?” tanya Retno, dosen hukum tata negara di salah satu kampus swasta di Nganjuk.
Lebih dari Sekadar Uang
Kasus ini lebih dari sekadar angka. Ini menyangkut asas keadilan fiskal, transparansi pengelolaan sumber daya, dan bagaimana pemerintah daerah mengartikulasikan kedaulatan fiskalnya di tengah proyek nasional yang besar.
Jika PAD sebesar Rp 23 miliar benar-benar hilang, masyarakat bukan hanya kehilangan dana untuk membangun sekolah, jalan, atau layanan kesehatan — mereka kehilangan kepercayaan.
Menagih yang Berhak
Kasus Bendungan Semantok bisa menjadi momentum reflektif: bahwa di balik beton dan bendungan, terdapat tanya yang belum dijawab oleh demokrasi lokal. Bahwa transparansi bukan hanya jargon, dan Perda bukan hanya lembaran kosong.
Menyalakan diskusi tentang akuntabilitas fiskal, fungsi pengawasan DPRD, dan partisipasi warga dalam mengawal APBD. Karena pembangunan yang baik bukan hanya soal proyek besar, tapi keberanian menagih yang berhak — untuk rakyat.
Penulis: Tim Redaksi Edu-Politik