Pendahuluan
“Trabas” dalam konteks sosial dan budaya di Indonesia sering diidentikkan dengan tindakan menyimpang dari aturan demi mencapai tujuan tertentu dengan cara cepat, meski merugikan orang lain atau melanggar norma. Dalam dunia kerja atau pemerintahan, mental ini sering muncul sebagai “asal bapak senang” (ABS), di mana bawahan memberikan informasi yang menyenangkan atasan, meskipun tidak sesuai kenyataan. Fenomena ini bertolak belakang dengan budaya kerja Jepang yang dikenal dengan kejujuran, tanggung jawab, dan perhatian pada detail.
Mental Trabas dan “Asal Bapak Senang”
Mental trabas muncul dari berbagai faktor, seperti lemahnya penegakan aturan, ketakutan menghadapi otoritas, atau budaya feodalistik yang masih melekat. Dalam budaya ABS:
- Ketidakjujuran Sistemik: Informasi disesuaikan dengan ekspektasi atasan untuk menghindari teguran.
- Ketakutan Hierarkis: Bawahan cenderung tunduk tanpa memberikan masukan kritis, bahkan jika kebijakan yang diambil keliru.
- Pragmatisme yang Keliru: Fokus pada hasil instan tanpa memperhatikan proses atau dampaknya.
Contoh Kasus di Indonesia
Dalam proyek pembangunan, misalnya, sering terjadi pelaporan progres yang dilebih-lebihkan untuk memenuhi target waktu demi menyenangkan atasan, meski kualitas proyek diabaikan. Hal ini tidak hanya membahayakan keselamatan publik tetapi juga merugikan negara.
Budaya Jepang: Kejujuran dan Kualitas di Atas Segalanya
Budaya kerja Jepang, sebaliknya, menekankan prinsip kaizen (perbaikan terus-menerus) dan wa (harmoni). Dalam konteks organisasi:
- Transparansi Informasi: Atasan dihormati, tetapi bawahan tidak segan memberikan masukan kritis untuk perbaikan.
- Tanggung Jawab Pribadi dan Kolektif: Kesalahan dilihat sebagai tanggung jawab bersama, bukan hanya individu tertentu.
- Orientasi Kualitas: Setiap detail pekerjaan diperhatikan dengan cermat, bahkan jika itu memperlambat proses.
Contoh Budaya Jepang
Ketika terjadi insiden kereta cepat Shinkansen mengalami keterlambatan beberapa detik, pihak operator memberikan permohonan maaf secara terbuka, menunjukkan tanggung jawab tinggi. Hal ini mencerminkan komitmen terhadap akurasi dan penghormatan terhadap pengguna jasa.
Perbandingan Indonesia dan Jepang
Aspek | Indonesia (ABS) | Jepang |
---|---|---|
Pengambilan Keputusan | Berdasarkan kehendak atasan tanpa kritik | Berdasarkan musyawarah dan masukan data |
Respons terhadap Masalah | Cenderung menutupi atau mencari kambing hitam | Mencari solusi bersama, transparan |
Kualitas Kerja | Fokus pada kecepatan, sering mengabaikan kualitas | Fokus pada kualitas meski memakan waktu |
Hubungan Atasan-Bawahan | Hierarkis, dominasi atasan | Harmonis, keterbukaan dalam diskusi |
Mengatasi Mental Trabas di Indonesia
Untuk mengurangi budaya ABS dan mental trabas, langkah-langkah berikut dapat diterapkan:
- Pendidikan Karakter: Menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas sejak dini.
- Reformasi Sistemik: Membuat mekanisme pengawasan yang ketat dan memberi ruang untuk kritik konstruktif.
- Pemberdayaan Bawahan: Menciptakan lingkungan kerja yang mendukung diskusi terbuka tanpa rasa takut.
- Kepemimpinan yang Inspiratif: Pemimpin harus menjadi teladan dalam transparansi dan tanggung jawab.
Kesimpulan
Mental trabas dan budaya “asal bapak senang” mencerminkan kelemahan dalam sistem sosial dan budaya kerja yang lebih mementingkan hierarki dibandingkan substansi. Jepang, dengan budayanya yang mengutamakan kejujuran dan kualitas, menawarkan pelajaran penting bagi Indonesia untuk membangun masyarakat yang lebih bertanggung jawab dan berintegritas. Dengan reformasi budaya dan sistem yang tepat, Indonesia dapat mengubah mental trabas menjadi budaya kerja yang berfokus pada kebenaran dan kualitas.