Mas Dhito Tinjau Stadion Mewah, Tapi Rakyat Dapat Apa?
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
“Stadion bisa megah, tapi tanpa rakyat di dalamnya, ia hanyalah bangunan kosong berharga miliaran.”
— Pengamat Tata Kota
Siang itu, langit Tarokan cerah. Di Desa Bulusari, suara langkah sepatu mengiringi sorot kamera. Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana, meninjau langsung proyek pembangunan Stadion Gelora Daha Jayati (GDJ). Kamera menangkap ekspresi seriusnya saat memeriksa tembok, dudukan tribun, dan progres zonasi. Ia berbicara tegas: proyek ini tak boleh mangkrak.
Pemerintah Kabupaten Kediri menganggarkan Rp 10 miliar untuk tahap kedua pembangunan stadion ini. Mega proyek yang menjadi ikon baru olahraga Kabupaten Kediri.
Tapi, di balik semua narasi teknis dan optimisme pemerintah, rakyat bertanya:
“Buat kami yang jualan sayur, yang belum punya tempat main bola, yang anaknya sekolahnya masih bocor… stadion ini untuk siapa sebenarnya?”
Stadion Baru, Rakyat Lama
Tak diragukan, stadion memang penting. Ia bisa menjadi pusat kebanggaan daerah, ajang olahraga prestasi, hingga ikon kota. Tapi dalam setiap pembangunan yang melibatkan dana publik, pertanyaan tentang “siapa yang diuntungkan?” harus lebih dulu dijawab.
Apakah stadion ini akan:
- Dibuka untuk pelajar dan komunitas lokal?
- Menjadi ruang UMKM untuk berdagang?
- Atau hanya digunakan saat event besar oleh segelintir kalangan?
Banyak warga mengaku belum paham apa manfaat konkret yang bisa mereka rasakan. Beberapa bahkan baru tahu bahwa stadion itu sedang dibangun.
Rp 10 Miliar di Tengah Jalan Rusak dan Sekolah Tua
Pembangunan stadion tahap II ini meliputi desain, pengawasan, dan pengerjaan fisik seperti tembok zonasi. Nilainya besar: Rp 10 miliar. Tentu, anggaran ini bersumber dari APBD—dana rakyat.
Di sisi lain, banyak desa di Kediri masih mengeluh soal:
- Jalan berlubang yang mengancam keselamatan warga
- Sekolah dasar yang plafonnya hampir runtuh
- Lapangan desa yang hanya berupa tanah becek tanpa lampu malam
“Apakah stadion ini bagian dari keadilan pembangunan, atau justru simbol ketimpangan baru?” tanya seorang aktivis desa.
Bupati Menjawab: Untuk Prestasi dan Kebanggaan Daerah
Dalam pernyataannya, Mas Dhito menjelaskan bahwa Stadion GDJ adalah bentuk keseriusan pemerintah membangun infrastruktur olahraga untuk mendukung prestasi anak muda, termasuk klub lokal seperti Persedikab.
Ia juga menepis isu mangkraknya pembangunan. “Stadion ini kami bangun secara bertahap dan tetap jalan sesuai perencanaan,” ujarnya tegas.
Tapi rakyat tetap ingin jaminan: bahwa setelah berdiri, stadion itu tidak jadi bangunan monumental tanpa nyawa sosial.
Rakyat Perlu Akses, Bukan Sekadar Arsitektur
Stadion semewah apapun tidak akan berarti jika rakyat hanya bisa memandang dari luar. Mereka perlu:
- Akses rutin dan gratis untuk sekolah, komunitas olahraga desa, dan pelatihan anak muda
- Zona UMKM dan kuliner lokal yang diatur di area stadion
- Keterlibatan warga sekitar dalam pengelolaan dan manfaat ekonomi
Jika tidak, stadion ini hanya akan jadi proyek elitis yang jauh dari urat nadi kehidupan rakyat kecil.
Rakyat Dapat Apa? Harus Dijawab Sekarang, Bukan Nanti
Mas Dhito mungkin telah menunjukkan komitmennya terhadap stadion. Tapi kini giliran Pemkab menjawab: bagaimana agar rakyat benar-benar punya “saham manfaat” di sana?
Karena pembangunan sejati bukan tentang beton yang berdiri, melainkan kehidupan yang terangkat.
- Bentuk badan pengelola stadion yang melibatkan perwakilan rakyat/komunitas.
- Tetapkan kuota pemakaian stadion untuk kegiatan gratis sekolah dan desa.
- Publikasikan rencana pemanfaatan stadion secara transparan dan partisipatif.