Ketika Lebaran Tak Lagi Meriah: Kisah Pak Amir dan Usahanya Menghadapi Sepinya Dompet Pemudik
Lebaran tahun lalu, toko kelontong Pak Amir di Brebes bisa dibilang seperti hajatan besar. Dari pagi hingga malam, antrean pembeli seolah tiada habisnya. Kue kalengan, minuman segar, hingga oleh-oleh khas desa ludes dalam seminggu. “Ini musim panen,” kata Pak Amir dengan senyum puas sambil menghitung tumpukan uang di laci kasir, layaknya seorang petani yang baru panen raya.
Namun, Lebaran 2025 datang dengan wajah baru.
Sepi. Jalanan tak seramai biasanya. Anak-anak rantau yang biasanya pulang kampung, kali ini cuma kirim salam lewat video call. Tidak ada lagi rombongan keluarga yang mampir membeli oleh-oleh atau nitip parcel. Rasanya seperti Lebaran yang sudah kena corona.
Pak Amir termenung. Ia membuka ponselnya, “Perputaran uang Lebaran anjlok Rp20 triliun. Jumlah pemudik turun drastis.” Sambil menarik napas panjang, Pak Amir berpikir, “Kalau arus uang nggak datang kepadaku, mungkin aku yang harus jadi detektif dan mengejar arus itu.”
Strategi Bertahan di Tengah Sepinya Dompet Pemudik
- Menunggu Pembeli? Itu Sudah Zaman Dulu
Pak Amir tak lagi duduk santai menunggu pembeli datang seperti karyawan malas yang menunggu akhir bulan. Ia mulai aktif menawarkan paket Lebaran lewat grup WhatsApp RT. Bahkan membuat layanan “titip belanja buat yang nggak mudik di Jakarta. Kami antar sampai depan pintu!” Masih lebih efektif daripada tunggu pasar datang. - Kolaborasi dengan Anak Muda: Kalau Tak Bisa Bersaing, Ya Kolaborasi
Pak Amir tahu betul, kalau mau bertahan, harus berkolaborasi. Jadi, ia mengajak keponakannya yang jago desain untuk membuat katalog barang. Tak cukup itu, ia juga bekerja sama dengan ojek lokal yang bisa diajak kerjasama. Sekarang, meskipun jalanan desa lengang, setidaknya tokonya masih ramai dengan pengiriman barang. - Menciptakan Pengalaman, Bukan Cuma Jualan
Pak Amir sadar, jualan doang itu nggak laku. Orang sekarang beli bukan cuma barang, tapi pengalaman. Jadi, ia mulai bikin video pendek proses pembuatan kue khas Lebaran di dapurnya, lalu mengunggahnya ke TikTok dan Instagram. Ternyata, wabah viral yang tiba-tiba datang itu malah bikin orang mulai pesan lewat online.
Kesimpulan:
Dunia bisnis memang tidak selalu semenyenangkan yang terlihat di sosial media. Kadang-kadang, seperti langit mendung di Lebaran ini—sunyi, sepi, dan penuh kekhawatiran. Tapi seperti Pak Amir, para pengusaha hebat itu bukan yang hanya bertahan saat penuh berkah, tapi mereka yang tahu caranya bertahan di tengah kelangkaan uang. Yang tahu bahwa meskipun uang bisa berhenti berputar di jalan, strategi di kepala harus terus berputar.
Lebaran mungkin sepi, tapi pikiran kita tidak boleh ikut-ikutan berlibur. Pengusaha sejati bukan menunggu keadaan membaik, tapi malah menyulap kondisi yang paling sulit jadi peluang bisnis. Seperti kata Pak Amir: “Lebaran boleh sepi, tapi pikiran bisnis nggak boleh ikut-ikutan sepi!”
Disclaimer:
Tulisan ini adalah ulasan ringan yang bertujuan memberikan bahan pelajaran atau renungan mengenai dunia bisnis kepada masyarakat. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan karya akademik atau berita serius, lebih ke sindir-sindiran halus untuk pelajaran.