📰 “Jual Murah Masa Depan: Di Balik Euforia Kesepakatan Dagang Trump–Indonesia”
Oleh: Tim Investigasi Edu-Politik
Pada 15 Juli 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kesepakatan dagang baru dengan Indonesia. Dalam pidatonya, ia menyebut kerja sama ini sebagai “kemenangan besar bagi rakyat Amerika”—dan sayangnya, tidak berlebihan. Sebab yang benar-benar diuntungkan dalam kesepakatan ini tampaknya bukan Indonesia.
Trump menyatakan bahwa Indonesia akan membeli produk energi Amerika senilai USD 15 miliar, produk pertanian USD 4,5 miliar, serta 50 unit pesawat Boeing. Di sisi lain, tidak ada perlakuan tarif preferensial bagi produk ekspor Indonesia. Bahkan, ekspor Indonesia ke AS dikenai tarif tetap sebesar 19%. Pernyataan bahwa ini “bebas tarif” adalah klaim yang tidak akurat, jika bukan menyesatkan.
Kesepakatan ini juga menyebutkan bahwa AS akan mendapat akses lebih luas terhadap sumber daya alam strategis Indonesia seperti nikel, tembaga, dan LNG. Namun, tanpa kejelasan dokumen resmi, publik tidak tahu batas dan mekanisme kontrol terhadap akses itu. Apakah ini berarti Indonesia membuka kran ekspor bahan mentah tanpa nilai tambah? Apakah kita akan kembali pada pola lama: negara kaya sumber daya tapi miskin pengaruh dalam rantai nilai global?
Tidak tampak adanya komitmen dalam kesepakatan ini mengenai transfer teknologi, keterlibatan perusahaan lokal, atau kewajiban investasi balik ke Indonesia. Kita membeli barang jadi, mereka membeli bahan mentah. Situasi ini mengulang pola relasi kolonial dalam bentuk modern: Indonesia menjadi pasar dan gudang bahan baku; Amerika Serikat menjadi pabrik dan pusat keuntungan.
Alih-alih memperkuat posisi sebagai negara kunci dalam geopolitik nikel dan energi hijau, Indonesia justru tampak tergesa menyetujui kesepakatan tanpa konsultasi publik atau pelibatan parlemen. Publik bahkan tidak diberi akses ke naskah perjanjian. Transparansi nol. Partisipasi nol. Kepentingan jangka panjang pun tampaknya dikesampingkan.
Jika kesepakatan ini dibiarkan tanpa pengawasan, maka bukan hanya perekonomian yang dirugikan. Kedaulatan nasional—dalam hal penguasaan sumber daya, arah pembangunan industri, dan hak menentukan nasib sendiri di pasar global—juga dipertaruhkan.
Kesepakatan ini perlu ditinjau ulang. Pemerintah harus mempublikasikan dokumen lengkapnya, melibatkan masyarakat sipil dalam evaluasi dampaknya, dan menjelaskan kepada rakyat mengapa kita membeli jauh lebih banyak daripada yang kita jual—tanpa perlindungan.
Perdagangan global seharusnya dibangun atas asas keadilan, bukan ketundukan. Indonesia bukan sekadar pasar. Kita bangsa merdeka, dan seharusnya berdagang sebagai mitra sejajar, bukan sebagai penjual murah masa depan anak cucu kita.