Drama Di Balik Palu: Saat Keadilan Dinegosiasikan di Meja Makan
Oleh: Tim Redaksi Edu-Politik.com
Edisi Khusus: Negara Hukum atau Negara Hubungan?
SURABAYA — Keadilan, katanya, adalah pilar utama negara hukum. Tapi di Surabaya, ia tampaknya telah dijual dalam lelang sunyi, dibungkus formalitas toga dan diantar dengan amplop tebal.
Tahun ini, Pengadilan Negeri Surabaya menjadi panggung utama dalam drama nasional bertajuk “Vonis Bebas, Tapi Berbayar”. Yang menjadi sorotan: Ronald Tannur, terdakwa kasus kekerasan terhadap seorang perempuan hingga meninggal dunia, yang ajaibnya divonis bebas.
Publik mengelus dada. Negara mengelus-elus berkas. Dan Kejaksaan Agung? Mereka langsung menyelidik. Tiga hakim, satu pengacara, dan yang terbaru: mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono—semuanya resmi jadi tersangka suap.
🕵️♂️ Jaksa Penyidik: Penyelamat atau Pemadam Kebakaran Terlambat?
Dari hasil penggeledahan, penyidik menemukan uang tunai miliaran rupiah dan susunan percakapan yang lebih panas dari sinetron prime time.
Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus, menyebut proses penetapan tersangka hanya butuh satu kali pemeriksaan. “Buktinya sudah terang,” ujarnya. Terang, memang. Bahkan lebih terang daripada transparansi proyek pemerintah.
💼 MA: “Kami Hormati Proses Hukum” — Sebuah Frasa Seribu Makna
Yang bikin publik mengernyit adalah dugaan keterlibatan internal Mahkamah Agung. Kabarnya, ada campur tangan dalam menyusun majelis hakim, konon atas permintaan pengacara. Masyarakat bertanya: kalau hakim bisa “dipilih sesuai pesanan”, lalu siapa sebenarnya yang memutus perkara? Hukum? Uang? Atau jaringan?
Mahkamah Agung sendiri cepat merespons: “Kami menghormati proses hukum.” Kalimat yang, jika diketik terlalu sering, bisa terasa seperti: “Kami tidak ikut-ikut, ya.”
Tanya Singkat, Jawaban Menyesakkan
- Siapa yang menyuap? Pengacara.
- Siapa yang disuap? Hakim.
- Siapa yang bebas? Terdakwa.
- Siapa yang dirugikan? Masyarakat.
Catatan Kritis
Apakah ini hanya kasus individual? Ataukah puncak gunung es sistemik yang selama ini tersembunyi di balik simbol “wakil Tuhan di bumi”? Ketika perkara besar bisa dibeli, lalu apa yang tersisa bagi rakyat kecil yang hanya punya kejujuran dan kwitansi?
Saat hukum mulai bisa dinegosiasikan, maka kampus hukum, pelatihan integritas, hingga sumpah jabatan hanya jadi tontonan. Negara perlu mengaudit ulang integritas lembaganya—bukan hanya gedungnya yang megah, tapi jiwa di balik palu.
Ronald Tannur bebas. Para hakim terjerat. Tapi yang sesungguhnya terpenjara adalah kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum. Jika vonis bisa dipesan, apa bedanya dengan restoran cepat saji?
Penulis: Redaksi Edu-Politik
Sumber: Kejagung RI, PN Surabaya, MA, media nasional, dan kenyataan yang lebih getir dari satire ini.
Tagar: #MafiaPeradilan #KeadilanBermerek #SurabayaTanpaPalu #EduPolitik #SuapDalamToga #NegaraHubungan