DPR Dorong Gaji Guru Rp 25 Juta per Bulan: Mimpi Ideal atau Beban APBN?
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
Bayangkan jika seorang guru honorer di pelosok Indonesia menerima slip gaji senilai Rp 25 juta. Bukan mimpi siang bolong, wacana ini benar-benar muncul dalam pembahasan DPR baru-baru ini. Anggota dewan mengusulkan agar profesi guru—yang selama ini disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”—diberi penghargaan yang setimpal: gaji Rp 25 juta per bulan.
Tepuk tangan? Pasti. Tapi kemudian muncul pertanyaan penting: dari mana sumber dananya? Mampukah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menanggungnya?
Dilema Klasik: Antara Ideal dan Realistis
Secara moral dan filosofi, gagasan ini layak diapresiasi. Guru adalah ujung tombak pendidikan, penentu kualitas generasi bangsa. Namun dalam praktik, anggaran negara tidak semudah mencetak lembaran rupiah. Saat ini, menurut data Kemdikbudristek, ada lebih dari 3,3 juta guru di seluruh Indonesia, termasuk PNS dan non-PNS.
Jika seluruhnya digaji Rp 25 juta per bulan, maka dibutuhkan setidaknya Rp 82,5 triliun per bulan, atau hampir Rp 1.000 triliun per tahun—angka yang setara dengan hampir separuh APBN 2025, yang totalnya berkisar Rp 3.300 triliun.
APBN Kita: Siap atau Tidak?
Saat ini, alokasi fungsi pendidikan dalam APBN memang besar: minimal 20% dari total APBN sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Tapi porsi itu digunakan untuk berbagai komponen: beasiswa, infrastruktur sekolah, BOS, hingga gaji guru. Artinya, menaikkan gaji guru tanpa reformasi struktural keuangan negara bisa mengorbankan pos penting lainnya.
Menurut Dr. Zulfikar Amir, pengamat anggaran dari Universitas Indonesia, “Usulan ini hanya bisa diwujudkan jika ada reformasi besar-besaran dalam efisiensi belanja negara, pengurangan korupsi, dan optimalisasi penerimaan pajak.”
Solusi dan Alternatif: Bertahap dan Bertarget
Daripada membebani APBN secara drastis, para pakar menyarankan pendekatan bertahap:
Prioritaskan guru di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Evaluasi sistem tunjangan berbasis kinerja dan zona geografis.
Integrasi dana BOS dan insentif daerah untuk meringankan beban pusat.
Digitalisasi sistem keuangan pendidikan untuk mencegah kebocoran.
Di sisi lain, daerah juga bisa mengambil peran lebih besar melalui alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) atau insentif dari APBD untuk guru daerah masing-masing.
Menakar Realisme Politik
Wacana ini bisa menjadi angin segar jika disertai komitmen politik lintas sektor dan perencanaan fiskal jangka panjang. Tanpa itu, publik hanya akan menyaksikan janji manis yang terbang tinggi tanpa pijakan anggaran.
Penutup: Penghargaan Boleh Tinggi, Tapi Harus Tanggung Jawab
Meninggikan martabat guru memang keharusan. Tapi martabat itu tidak cukup dengan narasi—ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang akurat secara fiskal, adil secara distribusi, dan terukur secara keberlanjutan. Jika tidak, gaji Rp 25 juta akan tinggal headline, bukan harapan.