Disiplin dan Hukuman: Narasi Michel Foucault tentang Kelahiran Penjara dan Implikasinya terhadap Sistem Hukum
Pendahuluan
Buku Discipline and Punish: The Birth of the Prison karya Michel Foucault (1975) adalah salah satu karya paling berpengaruh dalam kajian hukum, sosiologi, dan filsafat. Foucault menganalisis bagaimana sistem hukuman dalam sejarah mengalami pergeseran dari bentuk hukuman fisik yang brutal menuju sistem disiplin yang lebih halus tetapi lebih efektif dalam mengontrol individu. Dalam konteks sistem hukum modern, gagasan Foucault tetap relevan dalam mengkaji bagaimana hukum berfungsi tidak hanya sebagai alat keadilan, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol sosial.
Artikel ini akan mengulas pemikiran Foucault dalam Discipline and Punish, serta menghubungkannya dengan sistem hukum dan peradilan pidana di Indonesia.
Peralihan dari Hukuman Fisik ke Disiplin Sosial
Foucault mengawali bukunya dengan mendeskripsikan eksekusi brutal terhadap Damiens, seorang pria yang dihukum mati pada tahun 1757. Hukuman ini mencerminkan model keadilan abad pertengahan yang menekankan balas dendam negara terhadap pelanggar hukum melalui penyiksaan tubuh secara publik.
Namun, pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, terjadi perubahan paradigma. Hukuman fisik mulai digantikan dengan sistem penjara, yang menekankan pada disiplin, pengawasan, dan normalisasi perilaku. Foucault menyebut perubahan ini sebagai peralihan dari hukuman tubuh (punishment of the body) ke hukuman jiwa (punishment of the soul) (Foucault, 1975).
Menurut Foucault, penjara bukan sekadar tempat untuk menghukum, tetapi juga alat untuk membentuk perilaku individu agar sesuai dengan standar sosial yang ditentukan oleh negara dan institusi kekuasaan lainnya. Dalam sistem ini, pengawasan menjadi elemen kunci.
Panoptikon: Model Kontrol dan Pengawasan
Salah satu konsep utama dalam Discipline and Punish adalah Panoptikon, model arsitektur penjara yang dirancang oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18. Dalam desain ini, seorang pengawas dapat melihat seluruh narapidana tanpa mereka mengetahui kapan mereka sedang diawasi.
Foucault menggunakan Panoptikon sebagai metafora untuk menjelaskan bagaimana masyarakat modern mengontrol individu melalui pengawasan yang tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan normatif (Foucault, 1975). Dalam konteks hukum pidana, konsep ini dapat diterapkan dalam berbagai bentuk, seperti:
- Pengawasan oleh Aparat Penegak Hukum: Polisi dan lembaga hukum memiliki akses luas terhadap informasi pribadi melalui teknologi pengawasan.
- Norma Sosial sebagai Alat Kontrol: Masyarakat dikondisikan untuk menyesuaikan diri dengan hukum bukan karena ancaman hukuman fisik, tetapi karena tekanan sosial dan rasa takut terhadap pengawasan.
Implikasi terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia
Di Indonesia, sistem hukum pidana telah mengalami perubahan signifikan sejak era kolonial hingga reformasi hukum modern. Namun, jika dilihat dari perspektif Foucault, penjara di Indonesia masih lebih banyak berfungsi sebagai alat kontrol sosial daripada sebagai mekanisme rehabilitasi.
1. Overcrowding dan Efektivitas Penjara
Penjara di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas yang ekstrem. Menurut laporan Kementerian Hukum dan HAM (2023), jumlah narapidana di Indonesia telah melampaui kapasitas resmi lembaga pemasyarakatan hingga 200%. Foucault berpendapat bahwa penjara bukanlah solusi utama dalam menangani kejahatan, tetapi lebih sebagai alat untuk mempertahankan kontrol negara terhadap individu (Foucault, 1975).
2. Hukuman sebagai Alat Politik
Dalam beberapa kasus, hukum pidana di Indonesia digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan konsep disciplinary power Foucault, di mana negara menggunakan sistem hukum untuk membentuk kepatuhan masyarakat, bukan hanya untuk menegakkan keadilan (Hadiprayitno, 2010).
3. Pengawasan Digital dan Hukuman Sosial
Konsep Panoptikon dalam era digital semakin relevan dengan kehadiran teknologi pengawasan seperti CCTV, big data, dan peraturan mengenai ujaran kebencian di media sosial. Warga negara dapat diawasi secara tidak langsung oleh negara atau korporasi, yang pada akhirnya menciptakan bentuk kepatuhan yang mirip dengan efek psikologis Panoptikon Foucault (Zuboff, 2019).
Kesimpulan
Pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish mengajarkan bahwa sistem hukum pidana tidak hanya berfungsi untuk menghukum, tetapi juga untuk membentuk perilaku individu sesuai dengan standar sosial yang ditetapkan oleh negara dan institusi kekuasaan. Di Indonesia, konsep ini dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari penggunaan penjara sebagai alat kontrol sosial hingga pengawasan digital yang membatasi kebebasan individu.
Sebagai solusi, perlu ada reformasi hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada rehabilitasi daripada sekadar penghukuman, serta transparansi dalam penggunaan teknologi pengawasan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik. Dengan demikian, sistem hukum dapat benar-benar menjadi instrumen keadilan, bukan sekadar alat kontrol kekuasaan.
Daftar Pustaka
- Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon Books.
- Hadiprayitno, I. (2010). “The Law on Freedom of Speech in Indonesia: The Social and Political Context.” Journal of Contemporary Asia, 40(4), 573-593.
- Kementerian Hukum dan HAM. (2023). “Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.” Jakarta: Kemenkumham RI.
- Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs.
Dengan pemahaman yang lebih kritis terhadap sistem hukum, diharapkan reformasi keadilan pidana di Indonesia dapat lebih berorientasi pada kesejahteraan sosial dan hak asasi manusia.