đź“° Demi Sertifikat, Uang Rakyat Dijemput ke Rumah Kades: Negeri Ini Bukan Untuk Yang Lemah
SIDOARJO, EDU-POLITIK.COM – Dalam drama panjang tanah air kita, korupsi bukan lagi tamu tak diundang. Ia sudah seperti mantu idaman: ditunggu-tunggu, dirias cantik dalam LPJ, lalu disambut hangat di ruang tamu Kepala Desa.
Kali ini pentasnya berada di Desa Trosobo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Pemeran utama: Heri Achmadi, Kepala Desa nonaktif. Pemeran pembantu yang tak kalah kuat aktingnya: bendahara panitia PTSL, Nur Ainiyah. Adegan klimaks terjadi di Pengadilan Tipikor Surabaya, dengan dialog yang tak bisa ditulis ulang tanpa mencicitkan gigi:
“Saya yang antar uang Rp 30 juta itu langsung ke rumah Pak Kades.”
Kalimat sejuk namun bikin panas. Sebab ternyata, bukan hanya uang rakyat yang dikeruk, tapi juga akal sehat kita semua.
📜 Negara (Seharusnya) Tak Dijadikan Kantong Belanja
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dirancang oleh negara sebagai senjata untuk keadilan agraria: semua warga bisa dapat sertifikat tanah tanpa harus menjual kambing peliharaan. Tapi seperti biasa, niat baik bisa dikhianati oleh amplop coklat.
Warga yang seharusnya mendapat layanan gratis justru dikenai tarif tambahan. Konon katanya, untuk “pengeringan lahan”. Padahal lahan yang kering sesungguhnya adalah integritas mereka.
Ketika rakyat mengira membayar untuk proses resmi, ternyata mereka membayar tiket masuk ke sistem pungli. Dan yang bikin pilu, itu terjadi bukan di ruang gelap, tapi di ruang tamu rumah dinas Kades.
đź’Ľ LPJ: Laporan Pertanggungjawaban atau Laporan Penyembunyian Jalan?
Bendahara panitia mengaku uang itu tak dimasukkan ke LPJ karena… “diminta begitu.” Kalimat itu seperti catatan kaki dari kitab korupsi modern:
“Jika tak bisa dijelaskan, cukup katakan: diminta begitu.”
Ini bukan masalah teknis pencatatan. Ini adalah operasi estetika anggaran, di mana uang tunai dilarikan dari meja negara ke kantong pribadi melalui jalur cash & carry.
⚖️ Hukum Adalah Barang Mahal, Jangan Disia-siakan
Kini, ketika semua sudah terbongkar, kita hanya bisa berharap pada hakim, jaksa, dan nurani publik. Tapi mari kita juga bertanya:
Berapa banyak desa lain yang bendaharanya masih kuat menahan diri, dan berapa yang sudah rutin ngantar “titipan” ke rumah kepala?
Di negeri yang harga cabai naik-turun seperti mood influencer, pungli yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi desa. Dulu kita ingin membangun dari pinggiran, sekarang uang malah mengalir ke tengah-tengah ruang tamu Kades.
🪧 Di Negara yang Baik, Uang Rakyat Mengalir ke Proyek.
Di Negara yang Licik, Uang Rakyat Mengalir ke Proyek… Pribadi.
Maka, kita butuh lebih dari sekadar sidang. Kita butuh pertobatan kolektif. Agar Desa Trosobo tak menjadi Trosoboh—desa yang roboh karena keserakahan di balik meja.
Dan agar para bendahara masa depan belajar satu hal:
Antarkan uang rakyat ke kas desa, bukan ke rumah pribadi yang penuh dalih.