Bukan Sekadar Pupuk Palsu: Ini Soal Kedaulatan Pangan dan Keadilan Petani Kecil
🕵️♂️ Oleh: Tim Edu-Politik
Jawa Tengah, Juli 2025 – Saat petani sibuk menyambung hidup dari satu musim ke musim berikutnya, ada pihak-pihak tak bertanggung jawab yang justru mempermainkan hidup mereka lewat pupuk palsu. Tak main-main, Menteri Pertanian mengungkap bahwa lima jenis pupuk palsu telah ditemukan beredar luas di pasaran, dengan potensi kerugian mencapai Rp3,2 triliun.
Kepolisian baru-baru ini membongkar sebuah pabrik ilegal pupuk palsu di Boyolali yang telah beroperasi diam-diam sejak 2020. Produksinya mencapai 400 ton per bulan, mencetak label layaknya pupuk asli, namun hanya berisi campuran tanah, batu kapur, dan sedikit zat warna. Hasil uji laboratorium menunjukkan kandungan nitrogen, fosfor, dan kalium di bawah 1%, padahal label mengklaim lebih dari 10%.
📉 Panen Gagal, Petani Merana
“Saya pakai pupuk itu karena harganya murah dan katanya bersubsidi. Tapi setelah dipakai, padi saya malah jadi kuning dan gagal panen,” ujar Pak Suparjo, petani dari Sragen, dengan wajah lesu. Ia bukan satu-satunya. Laporan dari Dinas Pertanian menyebut lebih dari 2.500 petani terindikasi menggunakan pupuk palsu dalam satu musim terakhir.
Namun, persoalannya bukan hanya soal ekonomi. Ini menyentuh asas keadilan dalam sistem pertanian nasional.
⚖️ Pupuk Palsu = Kejahatan terhadap Kedaulatan Pangan
Dari sisi hukum, pelaku pembuatan dan distribusi pupuk palsu dapat dijerat dengan:
- Pasal 8 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena menjual barang yang tidak sesuai label dan membahayakan keselamatan pengguna.
- Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
- Pasal 60 UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang melarang peredaran sarana produksi pertanian yang tidak memenuhi standar.
- Bahkan, jika terbukti membahayakan lingkungan atau kesehatan, dapat dikonstruksikan sebagai pelanggaran terhadap UU Kesehatan.
“Ini bukan sekadar urusan pidana konsumen. Ini adalah kejahatan terhadap ketahanan pangan bangsa,” ujar seorang pakar hukum agraria dari UGM, Prof. Widodo Soetanto.
🔍 Mengapa Negara Harus Turun Tangan?
Kasus ini menguak lubang besar dalam sistem pengawasan distribusi pupuk. Negara seharusnya hadir tak hanya sebagai regulator, tetapi juga pelindung hak dasar petani. Jika pupuk palsu terus beredar, maka:
- Kepercayaan terhadap program subsidi pupuk akan hancur.
- Target swasembada pangan akan gagal total.
- Petani kecil semakin tergantung pada tengkulak dan sistem utang KUR yang tak sehat.
🗣️ Waktunya Petani Bicara Hukum
Sudah saatnya petani berani menggugat. Kelas aksi (class action) bisa diajukan kepada pelaku usaha, termasuk distributor yang terlibat. Jika terbukti, mereka bisa diminta ganti rugi materiil dan imateriil, dan pabrik bisa disita oleh negara.
LSM dan lembaga advokasi publik juga bisa mendorong uji materiil terhadap lemahnya pengawasan distribusi pupuk bersubsidi yang seringkali menjadi ladang mafia.
📣 Pesan untuk Publik dan Politisi
Kasus pupuk palsu ini seharusnya menjadi bahan kampanye politik yang nyata dan relevan. Jangan hanya bicara “petani sebagai pahlawan pangan”, tapi tak ada tindakan nyata melindungi mereka.
Karena jika hari ini kita membiarkan pupuk palsu beredar tanpa sanksi tegas, maka esok lusa yang palsu bukan hanya pupuknya—tetapi komitmen negara terhadap keadilan pangan.
📌 Edu-Politik.com berkomitmen mengawal isu pertanian, hukum, dan keadilan sosial. Jika Anda petani korban pupuk palsu, atau punya informasi penting, hubungi redaksi kami secara anonim.