BLUD RSUD dan Wajah Buram Pelayanan Publik: Ketika Dana Kesehatan Tersedot ke Kantong Elit
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
“Jika rumah sakit adalah tempat menyelamatkan nyawa, maka korupsi dana BLUD adalah pembunuhan tak terlihat.”
Jember, Jawa Timur — RSUD sejatinya menjadi benteng terakhir pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, apa jadinya ketika “benteng” ini justru dijebol dari dalam oleh para pengelolanya sendiri?
Pada tahun 2023, Kejaksaan Negeri Jember membongkar dugaan penyimpangan dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) di salah satu RSUD kabupaten tersebut. Nilainya tak main-main: miliaran rupiah raib melalui pengeluaran fiktif, honor yang tak jelas, hingga pengadaan barang yang tak pernah tiba.
Dana BLUD: Ruang Fleksibel yang Rentan Disalahgunakan
BLUD sebenarnya dirancang sebagai solusi. Regulasi melalui Permendagri 79/2018 memberikan otonomi finansial bagi rumah sakit untuk berinovasi, mempercepat layanan, dan mengurangi birokrasi. Namun, fleksibilitas ini seringkali menjadi celah empuk bagi pelaku manipulasi anggaran.
Menurut laporan audit internal dan pemeriksaan Kejari, pengelolaan dana BLUD di RSUD Jember dilakukan tanpa rencana bisnis tahunan yang memadai. Dokumen kegiatan disusun sekadar formalitas. Honor kegiatan dicairkan untuk pegawai yang tak pernah terlibat. Bahkan, pembelian alat kesehatan senilai ratusan juta hanya ada di atas kertas.
Pelayanan Mandek, Tapi Dana Jalan Terus
Di lapangan, pasien menunggu antrean panjang. Fasilitas tak terawat. Beberapa alat laboratorium rusak tak diganti. Ironisnya, laporan keuangan mencatat adanya belanja pemeliharaan dan pengadaan alat kesehatan yang seharusnya bisa menyelesaikan masalah tersebut.
“Saya nunggu 6 jam cuma buat hasil lab,” ujar Rina, pasien asal Patrang. “Padahal katanya alat baru sudah dibeli.”
Hukum Bicara, Tapi Masih Tumpul?
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jelas menyebut: setiap orang yang menyalahgunakan wewenang atau memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara dapat dihukum. Namun dalam praktiknya, jerat hukum terhadap pengelola BLUD seringkali terhambat. Bukti yang harus spesifik, struktur anggaran yang rumit, serta “permainan” audit internal membuat proses penyidikan berjalan lambat.
Kasus di Jember bahkan nyaris tenggelam sebelum akhirnya media dan LSM lokal mengangkat suara.
BLUD atau “Belanja untuk Diri”?
Fenomena ini bukan milik Jember semata. RSUD Sumedang, RSUD Garut, hingga beberapa rumah sakit daerah di Sumatera juga tercatat pernah mengalami audit dengan temuan serupa. Modusnya nyaris identik: kegiatan fiktif, pengadaan tak sesuai, atau penggunaan dana untuk perjalanan dinas tak relevan.
Padahal, dana BLUD berasal dari pendapatan masyarakat dan APBD. Ketika dana ini diselewengkan, masyarakat yang dirugikan dua kali: dari segi pelayanan dan dari segi keuangan.
Jalan Keluar: Transparansi atau Tragedi Berulang
Sudah saatnya regulasi BLUD ditindaklanjuti dengan audit independen rutin, digitalisasi laporan keuangan, dan pembentukan unit pengaduan publik berbasis komunitas.
Jika tidak, kita akan terus menyaksikan rumah sakit berubah fungsi: dari tempat penyembuhan, menjadi panggung kejahatan kerah putih.
Redaksi edu-politik.com mengajak pembaca untuk tidak diam. Transparansi bukan sekadar jargon—ia harus diperjuangkan, terutama di sektor kesehatan yang menjadi nadi kehidupan.
“Ketika dana publik dikorup, yang sakit bukan hanya anggaran—tetapi kepercayaan rakyat.”