“Bangsa yang Takut Hukum, Bukan Tuhan”: Refleksi atas Krisis Moral dalam Sistem Bernegara
Oleh: Tim Redaksi
Pernyataan Salim Said tentang ketakutan kepada Tuhan sebagai syarat kemajuan bangsa menantang kita untuk meninjau ulang relasi antara agama, moralitas, dan supremasi hukum di Indonesia.
Jakarta, edu-politik.com —
“Negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti,” ujar Prof. Salim Said, pengamat politik dan militer kawakan, dalam sebuah wawancara yang kini kembali relevan di tengah meningkatnya kasus korupsi, pelanggaran etika publik, dan penegakan hukum yang lemah.
Ucapan tersebut bukanlah seruan keagamaan semata. Lebih dari itu, ia merupakan kritik moral terhadap sistem hukum dan struktur etika publik Indonesia—sebuah negeri dengan mayoritas religius, namun minim rasa takut terhadap pelanggaran hukum.
Takut Tuhan, Takut Hukum: Dua Pilar Bernegara
Dalam sistem demokrasi konstitusional, hukum berfungsi sebagai lex suprema—aturan tertinggi dalam kehidupan bernegara. Namun, hukum yang tak disertai moralitas akan kehilangan ruhnya. Sebaliknya, moralitas tanpa sistem hukum yang tegas hanya akan menjadi nasihat kosong.
Salim Said menyentil realitas ini: bahwa banyak pejabat dan warga Indonesia mengaku bertakwa, namun tetap melanggar hukum. Hal ini menunjukkan gap antara religiositas simbolik dan moralitas substantif.
Logika Hukum dan Moral dalam Konstitusi
UUD 1945 telah menempatkan hukum sebagai pilar utama dalam membentuk masyarakat adil dan beradab:
Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan “ketakutan kepada hukum” masih selektif. Penegakan hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Maka, ketakutan kepada Tuhan dalam konteks Salim Said harus dibaca sebagai kesadaran moral untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan—bahkan saat hukum bisa dimanipulasi.
Antara Simbol Religius dan Etika Sosial
Ironisnya, di negeri dengan ribuan tempat ibadah dan ritual keagamaan yang rutin, justru pelanggaran hukum merajalela. Ini bukan soal agama tidak diajarkan, tapi bagaimana nilai-nilai agama tidak membumi dalam praktik sosial dan politik.
Pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, pernah menyatakan bahwa negara hukum membutuhkan etika konstitusional yang lahir dari integritas individu, bukan sekadar prosedur formal.
—
Perlukah Bangsa Ini Takut Tuhan untuk Maju?
Dalam konteks Indonesia, “takut Tuhan” yang dimaksud Salim Said lebih dekat pada integritas moral yang otentik—bukan sekadar rasa takut metafisik, tetapi kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi etis, sosial, dan hukum.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang takut akan dosa sosial: merugikan orang lain, menyalahgunakan amanah, dan melanggar keadilan. Maka, sistem hukum perlu dikawal oleh budaya malu, rasa bersalah, dan tanggung jawab moral.
Ucapan Salim Said bukanlah seruan doktriner, tapi sebuah kritik epistemik. Ia mengajak bangsa ini untuk menjadikan takut kepada Tuhan sebagai metafora terhadap krisis kedisiplinan hukum dan moral publik. Karena pada akhirnya, negara hukum tak akan berjalan tanpa warga negara yang bermoral, dan moralitas publik tak akan hidup tanpa rasa tanggung jawab yang transenden.