Antara Skapel dan Keadilan: Menelisik Kematian Usai Operasi Amandel di Sidoarjo
Ketika prosedur medis dipertanyakan, dan hukum kesehatan diuji — benarkah sistem melindungi pasien?
Sidoarjo, Jawa Timur – Senin pagi yang seharusnya menjadi awal pemulihan bagi R. Bhagas Priyo (28), justru menjadi akhir hidupnya. Ia mengembuskan napas terakhir tak lama setelah menjalani operasi amandel di sebuah rumah sakit swasta. Bukan karena penyakit ganas, melainkan dugaan kelalaian dalam prosedur medis yang kini ramai diperbincangkan publik.
Keluarga Berduka, Bukti Dipertanyakan
“Anak saya diberi makan pagi sebelum operasi,” ungkap sang ibu dengan suara tertahan. “Padahal setahu kami, seharusnya puasa.” Bukan hanya itu, keluarga juga mempertanyakan tidak adanya pemeriksaan ulang kondisi Bhagas sebelum operasi, serta absennya surat persetujuan tindakan medis (informed consent) yang sah dari pihak keluarga.
Apa yang sebenarnya terjadi di ruang operasi rumah sakit tersebut? Apakah ini sekadar kelalaian medis, atau telah melampaui batas hingga menjadi pelanggaran hukum?
Hukum Kesehatan: Antara Standar dan Kenyataan
Dalam perspektif hukum kesehatan, setiap tindakan medis harus memenuhi empat prinsip utama: autonomi pasien, informed consent, standar pelayanan, dan akuntabilitas profesional. Ketiadaan salah satu saja sudah bisa menjadi dasar gugatan hukum — baik pidana, perdata, maupun etik profesi.
“Kalau pasien diberi makan sebelum operasi umum tanpa alasan medis yang sah, itu berpotensi membahayakan. Dan jika tidak ada persetujuan tertulis, tindakan itu bisa dikategorikan unlawful medical treatment,” jelas Dr. Rina Maulidya, pakar hukum kesehatan dari Surabaya.
Tanggung Jawab: Siapa yang Bertindak?
Sampai hari ini, keluarga masih menunggu hasil penyelidikan dari pihak kepolisian dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Namun waktu terus berjalan, dan kejelasan hukum belum juga muncul.
Di sisi lain, publik menanti: apakah ini akan menjadi satu dari sekian banyak kasus yang “menghilang” dalam birokrasi? Ataukah menjadi titik balik pembaruan sistem akuntabilitas medis di Indonesia?
Korban Bukan Sekadar Angka
Di balik angka kematian dan laporan medis, ada wajah, keluarga, dan masa depan yang terenggut. Bhagas bukan hanya pasien. Ia adalah anak, saudara, manusia — yang berhak atas pengobatan yang aman dan bermartabat.
“Pendidikan hukum kesehatan harus diperkuat, bukan hanya untuk dokter, tapi juga masyarakat. Agar tahu haknya, dan tahu saat hak itu dilanggar,” kata Rina.
Akhir yang Membuka Awal
Kasus ini masih menunggu kesimpulan resmi. Tapi satu hal jelas: dunia kesehatan tidak bisa lagi hanya bicara soal keahlian medis — ia harus bicara juga tentang keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada keselamatan pasien.
Dalam dunia hukum kesehatan, skapel bisa menyelamatkan — atau mencederai. Dan saat yang kedua terjadi, hukum harus hadir sebagai pelindung, bukan pelambat.
Feature oleh: [Redaksi Hukum Kesehatan]