Adit Tak Lulus SLB, Tapi Tak Lelah Bermimpi: Membabat Rumput Demi Masa Depan Adiknya
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
“Saya memang tidak bisa sekolah lagi, tapi bukan berarti saya tidak bisa bantu adik saya kuliah.”
— Adit, pejuang rumput dari Purwakarta
Di tengah terik matahari siang di Purwakarta, seorang pemuda berbadan kecil dengan wajah tenang terlihat membungkuk di lapangan kosong. Tangannya penuh rumput, bajunya basah oleh peluh. Namanya Adit, dan hari ini ia kembali bekerja: mencabut rumput demi mendapatkan upah Rp 100.000 per hari.
Pekerjaan ini bukan sekadar rutinitas. Bagi Adit, inilah jalannya untuk tetap merasa berguna—untuk keluarganya, terutama untuk sang adik yang sedang menempuh kuliah di Universitas Indonesia.
Tak Tamat SLB, Tapi Tamat Mengeluh
Adit tak menamatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) karena kondisi dan keterbatasan yang ia alami sejak kecil. Ia tidak menguasai huruf dan angka secara penuh, tapi ia punya kekuatan lain: hati yang tak gampang menyerah.
Ketika banyak orang menyerah pada takdir, Adit memilih membentuk takdir baru dengan tangan sendiri—dan rumput liar sebagai lawannya.
“Saya senang kalau adik saya pintar. Saya enggak bisa bantu banyak, tapi saya bisa kerja buat bantu dia,” ucapnya polos saat ditemui Dedi Mulyadi dalam kunjungan lapangan.
Uang dari Rumput, Harapan yang Tumbuh
Setiap tiga hari bekerja membersihkan lahan, Adit bisa mengumpulkan sekitar Rp 300 ribu. Uang itu ia kumpulkan, sisihkan, dan diserahkan kepada orang tua sebagai bekal biaya kuliah adiknya. Mungkin nilainya tak seberapa bagi sebagian orang, tapi bagi Adit—itulah sumbangsih nyatanya untuk keluarga.
Meski belum ada bukti resmi soal besarnya kontribusi Adit terhadap pembayaran UKT atau biaya kuliah adiknya, kisah ini sudah cukup menggugah: bahwa perjuangan tak selalu dimulai dari kampus, kadang dari rumput lapangan.
Bukan Soal Akademik, Tapi Soal Hati
Adit tidak punya gelar. Ia tidak lulus SLB. Tapi ia memiliki sesuatu yang lebih langka: kemauan untuk berkorban, bahkan dalam keterbatasan.
Ketika banyak pemuda lain sibuk mengeluh karena sinyal internet, Adit memilih memegang sabit dan menaklukkan ilalang, bukan untuk dirinya, tapi untuk masa depan adiknya.
Kisahnya viral, terutama setelah dikunjungi oleh politisi dan tokoh nasional Dedi Mulyadi, yang menyebut Adit sebagai sosok “rendah hati yang tak menyerah”.
Tak Harus Jadi Sarjana untuk Jadi Pahlawan
Kisah Adit menyadarkan kita bahwa pendidikan bukan hanya milik mereka yang sekolah tinggi. Kadang, pelajaran tentang ketulusan dan tanggung jawab datang dari mereka yang tak pernah duduk di bangku kelas.
Adit mungkin tidak lulus SLB, tapi ia lulus sebagai manusia yang layak dihormati.
Edu-Politik merekomendasikan:
👣 Perluasan program beasiswa untuk keluarga rentan pendidikan
💼 Pelatihan kerja inklusif bagi difabel dan putus sekolah
📰 Publikasi inspiratif yang faktual—hindari glorifikasi berlebihan, kuatkan dampaknya