Refleksi Rakyat Kritis Pasca Pilkada dan Penetapan Calon Terpilih
Sebagai rakyat biasa yang cerdas dan kritis, kita perlu memahami bahwa pilkada bukan sekadar ajang memilih pemimpin, tetapi juga cerminan bagaimana demokrasi dijalankan. Kini, setelah calon terpilih ditetapkan, tugas kita belum selesai. Justru, inilah saatnya kita lebih waspada dan aktif mengawal kebijakan mereka.
1. Legitimasi Bukan Hanya Soal Hukum, Tapi Juga Kepercayaan Publik
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja mengesahkan kemenangan pasangan tertentu, tetapi legitimasi sejati tidak hanya datang dari aturan hukum, melainkan dari penerimaan dan kepercayaan rakyat. Jika ada indikasi kecurangan, manipulasi, atau praktik politik yang merugikan masyarakat, kita sebagai rakyat harus tetap kritis, bukan sekadar pasrah dengan hasil yang diumumkan.
2. Mengawal Janji, Bukan Sekadar Merayakan Kemenangan
Dalam kampanye, para calon biasanya berlomba-lomba menawarkan janji. Sekarang, setelah mereka resmi terpilih, kita harus memastikan bahwa janji-janji tersebut tidak sekadar menjadi arsip sejarah. Sebagai rakyat, kita punya hak untuk terus bertanya: Mana realisasi program yang dijanjikan? Apakah kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak kepada rakyat? Jangan sampai setelah pesta demokrasi usai, pemimpin yang terpilih justru lupa pada komitmen mereka.
3. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas
Kita tidak boleh hanya diam dan menerima kebijakan begitu saja. Sebagai rakyat, kita harus meminta transparansi dalam penggunaan anggaran, kebijakan publik, hingga pengelolaan sumber daya daerah. Kita berhak tahu ke mana uang pajak kita digunakan, apakah program yang dijalankan efektif, dan apakah ada indikasi penyalahgunaan wewenang. Jika ada kebijakan yang merugikan masyarakat, kritik harus tetap disuarakan, baik melalui media, forum publik, atau mekanisme hukum.
4. Mencegah Politik Dinasti dan Nepotisme
Salah satu tantangan besar dalam demokrasi daerah adalah kecenderungan politik dinasti atau praktik nepotisme. Jangan sampai kemenangan dalam pilkada justru menjadi pintu masuk bagi praktik oligarki baru, di mana kekuasaan hanya berputar di lingkaran elite tertentu, sementara rakyat tetap menjadi objek politik, bukan subjek yang berdaya.
5. Membangun Kesadaran Politik Berkelanjutan
Pilkada bukan akhir dari partisipasi politik kita. Justru, ini adalah momentum untuk semakin aktif dalam mengawasi pemerintahan daerah. Jika ada kebijakan yang baik, kita dukung; jika ada yang menyimpang, kita lawan. Kesadaran politik bukan hanya tentang memilih setiap lima tahun sekali, tetapi tentang terus mengawal demokrasi agar tetap sehat dan berpihak kepada rakyat.
Sebagai rakyat biasa yang kritis, kita tidak boleh menjadi penonton pasif dalam demokrasi. Kita harus menjadi bagian dari perubahan dengan terus mempertanyakan, mengkritisi, dan mengawal kebijakan. Karena pada akhirnya, kekuasaan tanpa kontrol hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan.