Analisis Hukum: Implikasi Ketidakpatuhan terhadap PKPU 8/2024 dalam Pencalonan Pilkada
Pendahuluan
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 mengatur secara tegas mengenai syarat pengunduran diri bagi calon anggota legislatif terpilih yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada. Dalam konteks kasus Trihandy Cahyo Saputro, terdapat persoalan hukum mengenai kepatuhan terhadap Pasal 14 ayat (4) huruf d dan Pasal 32 ayat (3) PKPU 8/2024. Ketidaksesuaian antara status hukum pencalonannya dengan persyaratan yang ditetapkan berpotensi menjadi dasar kuat bagi Mahkamah Konstitusi untuk mendiskualifikasi pasangan calon yang bersangkutan.
Argumentasi Hukum
1. Perbedaan Substansi Pasal 14 ayat (4) huruf d dan Pasal 32 ayat (3) PKPU 8/2024
- Pasal 14 ayat (4) huruf d menegaskan bahwa calon anggota DPRD terpilih wajib mengundurkan diri sebelum mendaftar sebagai pasangan calon Pilkada. Ini merupakan ketentuan materiil yang berhubungan dengan status hukum calon.
- Pasal 32 ayat (3) hanya mengatur tentang waktu penyerahan dokumen pengunduran diri, yaitu dapat dilakukan paling lambat saat perbaikan dokumen persyaratan calon. Namun, ketentuan ini bersifat formil dan tidak mengesampingkan kewajiban materiil dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d.
2. Konsekuensi Hukum jika Calon Belum Mengundurkan Diri pada Saat Pendaftaran
- Pada saat pendaftaran paslon Pilkada (28 Agustus 2024), calon seharusnya sudah dalam keadaan hukum telah mengundurkan diri sebagai anggota DPRD terpilih.
- Fakta bahwa Trihandy Cahyo Saputro masih ikut pelantikan DPRD pada 30 Agustus 2024 menunjukkan bahwa ia masih berstatus anggota DPRD terpilih setelah masa pendaftaran.
- KPU dan Bawaslu, yang diundang dalam pelantikan DPRD tersebut, memiliki pengetahuan langsung bahwa calon belum mengundurkan diri, sehingga hal ini bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi merupakan pelanggaran hukum substantif.
3. Implikasi terhadap Keabsahan Pencalonan
- Ketidaksesuaian status hukum calon dengan ketentuan Pasal 14 ayat (4) huruf d PKPU 8/2024 dapat dijadikan dasar hukum untuk mendiskualifikasi pasangan calon.
- Merujuk pada Pasal 138 ayat (1) UU Pilkada (UU No. 10 Tahun 2016), KPU dapat membatalkan pencalonan jika terdapat pelanggaran administratif yang bersifat substantif.
- Dalam konteks sengketa Pilkada, Mahkamah Konstitusi dapat menggunakan yurisprudensi sebelumnya, di mana calon yang tidak memenuhi syarat substansial dapat didiskualifikasi.
4. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Kepastian Hukum
- MK memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa ketentuan hukum tidak diabaikan demi kepentingan politik tertentu.
- Dalam beberapa kasus sebelumnya, MK telah memutuskan diskualifikasi pasangan calon yang terbukti tidak memenuhi syarat pencalonan secara substantif.
- Fakta bahwa KPU dan Bawaslu mengetahui status calon dalam pelantikan DPRD menjadi bukti kuat bahwa pelanggaran ini bukan sekadar administratif, tetapi merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap aturan Pilkada.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis hukum di atas, sangat beralasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mendiskualifikasi pasangan calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan sebagaimana diatur dalam PKPU 8/2024. Ketidaksesuaian antara status hukum calon dengan kewajiban pengunduran diri sebelum pendaftaran bukan hanya permasalahan teknis administratif, tetapi juga mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum dalam proses Pilkada. Oleh karena itu, putusan diskualifikasi merupakan langkah yang sah dan berlandaskan hukum demi menjaga integritas pemilihan kepala daerah.