KEHENDAK RAKYAT DI ATAS HUKUM: Pati Memanas di Tengah Teriakan “Turunkan Bupati!”
PATI – Rabu, 13 Agustus 2025, halaman Kantor Bupati Pati dipenuhi gelombang massa. Spanduk raksasa bertuliskan “Pecat Sudewo” berkibar, megafon meraung, dan orator berteriak bahwa suara rakyat adalah hukum tertinggi. Ironisnya, hukum tertulis di negeri ini justru berkata lain.
Awalnya, api kemarahan dipantik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) yang mencapai 250 persen. Kebijakan ini akhirnya dibatalkan oleh Bupati Sudewo, disusul pencabutan aturan lima hari sekolah. Namun, bukannya mereda, tuntutan justru membesar: rakyat ingin sang bupati lengser dari kursinya.
Bupati Sudewo menanggapi dengan nada tegas: aksi menggulingkan kepala daerah melalui demonstrasi adalah tindakan inkonstitusional. Menurutnya, UUD 1945 dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah jelas mengatur, pemakzulan kepala daerah hanya dapat dilakukan lewat mekanisme DPRD, Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi—bukan oleh massa di jalanan.
Namun, di tengah teriknya siang, orasi-orasi itu memantul di udara seperti panas yang sulit diusir. Para demonstran mengangkat slogan yang lebih berani: “Kalau hukum tak memihak rakyat, rakyatlah yang jadi hukum!” Sebuah kalimat yang terdengar heroik bagi sebagian, tapi memicu tanda tanya besar di benak para ahli hukum.
Apakah ini cerminan demokrasi langsung yang sehat, ataukah gejala bahwa kepercayaan publik pada mekanisme hukum sudah runtuh? Di balik semua teriakan, ada satu benang merah: jurang antara legalitas dan legitimasi.
Seorang demonstran paruh baya yang mengaku petani berkata lirih, “Kami ini orang kecil. Kalau jalannya lewat DPRD, kami kapan bisa didengar? Demo ini jalan pintas kami.” Sebuah pengakuan yang sederhana, namun menohok: rakyat merasa prosedur formal terlalu lambat, sementara keresahan mereka mendesak.
Hukum memang menuntut kesabaran dan prosedur, tetapi politik jalanan menuntut kecepatan dan efek kejut. Di Pati, dua logika itu sedang bertabrakan di depan kantor bupati. Pertanyaannya, siapakah yang akan menang: teks undang-undang, atau teks di spanduk-spanduk rakyat?