“Rp 20 Ribu Sehari: Ketika Standar Kemiskinan pun Dikorupsi”
📝 Oleh: Tim Investigasi Edu-Politik
📍 Edisi Khusus | 26 Juli 2025
Apakah mungkin manusia hidup layak dengan Rp 20.305 per hari di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi?
Di bawah standar inilah negara menetapkan siapa yang boleh disebut “miskin”.
Blok M, Jakarta Selatan – Di antara hiruk-pikuk kota yang menjual kopi seharga Rp 45.000 per gelas, negara menetapkan bahwa seseorang dianggap tidak miskin jika ia mampu membelanjakan Rp 20.305 per hari—jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli gorengan dan segelas air mineral di pusat kota.
Itulah standar garis kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024. Dengan angka itu, jumlah orang miskin secara statistik memang lebih mudah ditekan. Tapi benarkah rakyat jadi lebih sejahtera—atau sekadar tereliminasi dari grafik kemiskinan nasional?
🎭 Kemiskinan yang Dikecilkan, Angka yang Dibesarkan
Kita sedang menghadapi korupsi standar kesejahteraan. Bukan korupsi uang seperti di meja proyek, tapi korupsi definisi. Manipulasi konseptual yang diam-diam mengaburkan realitas, lalu dijadikan bahan presentasi untuk pamer “prestasi” pada lembar pidato pejabat.
“Kalau kamu bisa hidup dengan Rp 20.305/hari, silakan uji sendiri: berapa liter beras? berapa telur? berapa ongkos ke sekolah anak?”
– warga net, dalam forum diskusi publik
Dengan standar ini, jutaan keluarga yang susah bayar kontrakan, listrik, pulsa sekolah anak, dan beras 5kg—disebut tidak miskin. Karena mereka masih bisa membeli sebungkus nasi kucing dan teh celup.
🌍 Padahal Dunia Bilang: Rp 68.000/hari Itu Baru ‘Layak Minimum’
Bank Dunia menyebutkan bahwa batas kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah seperti Indonesia seharusnya US$ 4,20 per hari per orang. Jika dirupiahkan, itu sekitar Rp 68.460.
Artinya, garis kemiskinan kita hanya sepertiga dari standar dunia.
📉 Kemiskinan yang Disulap, Bukan Diselesaikan
Kondisi ini bukan hanya soal statistik. Ini soal bagaimana negara melihat rakyatnya. Ketika garis kemiskinan dikecilkan, pemerintah bisa berbangga:
“Jumlah penduduk miskin turun!”
Padahal yang benar:
“Jumlah orang miskin yang dianggap miskin secara resmi turun. Tapi yang sengsara secara nyata tetap banyak. Hanya tak lagi diakui oleh negara.”
🕌 Dalam Islam: Batas Kemiskinan Setara Rp 4,2 Juta per Bulan
Jika memakai standar fikih zakat, orang miskin adalah mereka yang hidup di bawah nishab zakat. Nilainya saat ini:
653 kg gabah x Rp 6.500 = Rp 4.244.500/bulan per keluarga.
Artinya, banyak buruh dengan UMR Rp 2,5 juta sebenarnya masih masuk kategori miskin menurut syariah.
🧠 Pertanyaan Tajam untuk Kita Semua:
- Jika standar miskin dikerdilkan, bagaimana nasib bantuan sosial yang bergantung pada data itu?
- Siapa yang paling diuntungkan dari “kemiskinan yang menyusut secara statistik”?
- Bukankah ini semacam korupsi kebijakan yang menyamar dalam data?
📣 Kemiskinan Bukan Sekadar Soal Uang, Tapi Soal Kejujuran Negara
Ketika definisi kemiskinan dikendalikan, maka kemiskinan bukan lagi musuh negara. Tapi alat politik.
Maka bukan hanya koruptor dana bansos yang harus kita awasi, tapi juga koruptor narasi kemiskinan.
Karena jika negara menganggap Rp 20 ribu cukup untuk hidup layak, maka satu-satunya hal yang lebih murah dari harga beras hari ini—adalah harga rasa malu mereka.
📎 Redaksi menerima tanggapan dan laporan publik dari warga tentang kondisi riil kemiskinan di sekitar Anda. Edu-politik.com berdiri untuk suara yang jujur, bukan data yang ditata.