🎯 “Miskin Tapi Tak Terdaftar”: Ketika Bansos Jadi Soal Siapa yang Dekat, Bukan Siapa yang Butuh
Kediri — Di sebuah gang sempit di pinggiran Kota Kediri, Sumarni (62), seorang janda buruh tani, menatap kosong layar televisi tua yang lebih sering mati karena tagihan listrik menunggak. Di tangannya, selembar surat permohonan bansos yang tak pernah direspons. Bagi Sumarni, kemiskinan bukan sekadar soal penghasilan, tapi soal tak dianggap oleh sistem yang seharusnya melindunginya.
Ia tinggal di rumah berdinding anyaman bambu, mengurus dua cucunya yang ditinggal ibunya merantau tanpa kabar. Tapi namanya tak pernah masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), padahal sudah lima kali mengajukan.
“Katanya dataku nggak lengkap. Tapi orang di ujung gang yang punya dua motor malah dapat bansos tiap bulan,” ujar Sumarni lirih.
💸 Siapa yang Menentukan Siapa yang Miskin?
Kisah Sumarni bukan satu-satunya. Di banyak titik di Kediri dan daerah lain, perdebatan tentang siapa yang layak menerima bantuan sosial (bansos) terus menyala. Ironisnya, di tengah jargon “data sudah diperbarui”, warga yang paling membutuhkan justru tercecer. Yang muncul di daftar penerima sering kali justru mereka yang lebih “dekat” — secara sosial, politis, atau administratif.
Menurut investigasi Radar Kediri dan pantauan Ombudsman, pemutakhiran DTKS memang dilakukan secara berkala, tetapi proses verifikasi di tingkat RT/RW hingga kelurahan masih menyisakan ruang abu-abu:
- Penilaian subjektif
- Kurangnya sosialisasi
- Minimnya pelibatan masyarakat
- Dan yang paling krusial: tidak ada transparansi atas siapa yang menghapus atau mencoret nama warga dari daftar.
“Dulu saya pernah terdaftar, tapi tiba-tiba dicoret. Saya tanya ke RT, katanya diganti yang lebih butuh. Tapi saya nganggur dan tinggal sendiri,” keluh Sabar (51), warga Kecamatan Pesantren.
📊 Data Tak Sinkron, Rakyat Jadi Korban
Padahal, menurut Permensos No. 3 Tahun 2021, proses pemutakhiran DTKS harus melibatkan partisipasi warga, verifikasi faktual, dan sistem terbuka untuk koreksi data. Namun realitas di lapangan menunjukkan:
- Banyak warga tidak tahu hak koreksi data
- Akses ke sistem digital (Cek Bansos, aplikasi SIKS-NG) sangat terbatas, terutama bagi lansia dan warga tanpa gadget
- Petugas verifikasi di lapangan terbatas dan overload
Hasilnya, kesalahan inclusion (yang tidak berhak tapi menerima) dan exclusion (yang berhak tapi tidak terdata) tetap tinggi. Bahkan data dari TNP2K (2023) menyebutkan bahwa sekitar 34% data penerima bansos nasional tidak tepat sasaran.
🧨 Ketika Kedekatan Lebih Penting dari Keadaan
Di beberapa desa di Kediri, warga menyebut bahwa bansos kerap “diarahkan” untuk warga tertentu menjelang pemilu atau karena kedekatan dengan aparatur desa. Bahkan ada temuan bahwa pengurus RT bisa memblokir atau menunda pengajuan warga hanya karena beda pilihan politik atau karena berani bertanya.
“Saya dianggap cerewet karena pernah protes. Akhirnya dibilang ‘udah, jangan harap dapat bantuan lagi’,” ujar Suwarno (47), seorang buruh harian.
📢 Catatan:
✅ Bansos bukan belas kasihan, tapi hak konstitusional.
✅ Kriteria miskin tidak bisa ditentukan dari kacamata RT yang subjektif atau karena motor hasil kredit 5 tahun lalu.
✅ Jika data terus salah dan masyarakat tidak bisa memverifikasi atau menyanggahnya, maka yang terjadi adalah sistem bantuan yang anti-keadilan dan pro-kedekatan.
✅ Koreksi data seharusnya menjadi proses warga, bukan sekadar klik oleh operator di balik meja.
🔚 Siapa yang Akan Mencatat yang Tak Terdata?
Sumarni, Sabar, dan ribuan lainnya adalah wajah-wajah tak terlihat dari statistik bantuan pemerintah. Mereka miskin, tapi tak dianggap miskin. Mereka lapar, tapi tak cukup “terlihat” untuk dibantu. Mereka hidup, tapi di luar radar bansos.
“Kalau bukan kami yang bicara, siapa lagi? Tapi kalau sudah bicara, malah dibilang bikin keributan,” tutup Sumarni.
Reporter: Tim Investigasi Edu-Politik.com