Bekas Rumah Dinas Pimpinan DPRD Nganjuk Terbengkalai: Simbol Gagap Tata Kelola Aset Publik?
Oleh: Tim Redaksi Edu-Politik.com
Nganjuk – Langit cerah pagi itu tak mampu menutupi mendung di hati warga. Saat Sumijan, tokoh gerakan Nganjuk Bangkit Melesat, melintas di depan Kantor Kejaksaan Negeri Nganjuk dalam perjalanannya ke Pasar Wage, pandangan matanya tertumbuk pada deretan rumah megah yang berdiri mencolok—namun sunyi dan terlantar.
Deretan rumah itu, yang disebut-sebut sebagai bekas rumah dinas pimpinan DPRD Nganjuk, kini tak lebih dari bangunan kosong yang mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Padahal posisinya strategis dan desainnya terbilang megah. Ironisnya, justru ditinggalkan begitu saja.
> “Kalau memang itu dibangun sebagai perumahan dinas pejabat DPRD, kenapa tidak ditempati? Apakah ini disengaja, atau ada permainan anggaran di balik semua ini?” kata Sumijan dalam unggahannya yang viral di media sosial.
Dibangun untuk Ditinggalkan?
Menurut data yang dihimpun, kompleks rumah tersebut memang dibangun untuk menjadi hunian resmi pimpinan DPRD. Namun sejak selesai dibangun, tak satu pun ditempati secara permanen.
Kondisi ini memunculkan dugaan publik bahwa rumah-rumah itu hanya proyek “pemanis” anggaran, sementara solusi aktual yang diambil para pejabat adalah… tunjangan.
Komentar Mantan Pejabat: Ada Pergeseran Kebijakan
Mantan pejabat Nganjuk, Bapak Soekojono, turut angkat bicara dan memberikan informasi penting yang bisa menjelaskan alasan di balik rumah dinas yang tak berfungsi:
> “Sekarang mereka minta berupa tunjangan rumah dinas saja, atau sewa rumah per bulan sebesar Rp25 juta lebih. Itu belum termasuk tunjangan transportasi,” ujarnya dalam pesan tertulis yang diterima redaksi.
Ia menambahkan bahwa perubahan ini merujuk pada SK Plt Bupati Nganjuk No. 2 Tahun 2022 tentang Tunjangan Perumahan dan Transportasi DPRD, yang menggantikan Perbup No. 2 Tahun 2016.
Artinya, kebijakan berubah: rumah disiapkan, tapi tunjangan tetap dijadikan pilihan utama. Publik pun bertanya, untuk apa bangunan rumah dinas jika justru anggaran sewa dan tunjangan tetap dikucurkan secara terpisah?
Gagal Manfaat, Beban Daerah
Jika rumah-rumah itu tak dimanfaatkan, maka keberadaannya kini justru menjadi beban: biaya pemeliharaan, risiko kerusakan, dan tentu saja—potensi kerugian daerah. Padahal, Permendagri No. 19 Tahun 2016 mengharuskan setiap aset milik daerah untuk dikelola secara efisien, optimal, dan akuntabel.
Lebih jauh, logika publik pun tercabik: ketika rakyat kesulitan akses air bersih, fasilitas kesehatan dan sekolah terpencil terbatas, justru uang rakyat dihamburkan untuk membangun rumah dinas yang tidak digunakan, lalu digandakan lagi dengan tunjangan sewa rumah puluhan juta per bulan.
Rakyat Bertanya, Pemda Masih Bungkam
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Kabupaten Nganjuk atau pihak DPRD terkait status rumah dinas tersebut, ataupun pembenaran atas kebijakan tunjangan rumah dan transportasi yang terus berjalan sejak 2022.
Padahal, dengan alokasi Rp26 juta per anggota untuk sewa rumah saja, dikalikan jumlah anggota dan dikalikan per tahun, anggaran yang dikeluarkan bisa menyentuh miliaran rupiah—sebuah jumlah yang cukup untuk membiayai berbagai program pemberdayaan masyarakat.
Catatan Redaksi:
Redaksi Edu-Politik.com memberi ruang terbuka bagi pihak DPRD dan Pemkab Nganjuk untuk menyampaikan klarifikasi, hak jawab, atau penjelasan kebijakan atas fenomena ini. Suara rakyat, seperti yang diungkapkan oleh Pak Sumijan dan Pak Soekojono, bukan sekadar keluhan—melainkan pengingat bahwa publik menuntut transparansi dan tanggung jawab dari wakil dan pemimpinnya.
Karena ketika rumah dinas menjadi simbol kosong, dan tunjangan jadi solusi tanpa pertanggungjawaban, maka kepercayaan publiklah yang paling mahal harganya.