🎓 Pendidikan Gratis di Atas Kertas, Mahal di Lapangan: Wajah Pungutan Sekolah di Nganjuk
📍 Oleh: Redaksi Edu-Politik.com
🗓️ Nganjuk, Juli 2025
“Tlaten lan sabar. Nek koe pengen instan, godok mie ae.”
— Pepatah warung kopi, relevan buat pendidikan kita.
🔎 Sekilas Masalah: Ketika Sumbangan Menjadi Kewajiban
Di atas kertas, pendidikan dasar dan menengah di Indonesia disebut “gratis”. Tapi bagi sebagian besar orang tua di Kabupaten Nganjuk, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya.
Alih-alih sumbangan sukarela, muncul kewajiban membayar uang pembangunan, gedung, hingga “amal jariyah” dengan angka yang sudah ditentukan. Beberapa sekolah bahkan diduga mengemas pungutan dalam istilah yang terkesan religius atau progresif. Namun, tetap saja: jika tak membayar, anak tak bisa ikut kegiatan atau dinilai “belum lengkap administrasi”.
🏫 Kasus-Kasus yang Mencuat
1. SMKN 1 Lengkong
Orang tua diminta Rp 1.700.000. Komite sekolah mengaku itu “sumbangan pengembangan”. Namun, sebagian wali murid mempertanyakan: jika sukarela, mengapa jumlahnya sama untuk semua? Tak sedikit yang merasa dipaksa dalam diam.
2. SMKN 1 Tanjunganom
Istilah “iuran amal jariyah” terdengar mulia, tapi nominalnya Rp 125.000/bulan. Ditambah lagi, iuran gedung dan “tabungan sekolah” yang wajib dibayar awal tahun. Tanpa transparansi penggunaan dana, dugaan pungli pun bermunculan.
3. SMA Negeri 1 Ngronggot
Pungutan berjamaah: Rp 1.500.000 untuk gedung, Rp 2.000.000 untuk seragam, dan SPP bulanan. Orang tua yang tak mampu memilih diam, takut anaknya “dipersulit”. Beberapa guru tak nyaman, tapi mengaku hanya menjalankan perintah.
4. SMA Negeri 1 Patianrowo dan Rejoso
Dugaan pungli terjadi lewat pungutan LKS, seragam, hingga “pengembangan investasi sekolah”. Ironisnya, semua dilakukan atas nama komite, padahal peraturan menteri melarang komite jadi “mesin pungli”.
⚖️ Apa Kata Regulasi?
- Permendikbud No. 75 Tahun 2016: Komite sekolah tidak boleh memungut dana dari peserta didik, kecuali dalam bentuk sumbangan sukarela.
- PP No. 17 Tahun 2020 Pasal 181A: Sekolah dilarang menjual seragam, LKS, atau pungutan dalam bentuk apa pun tanpa persetujuan tertulis dan dasar hukum yang jelas.
- UU Tipikor Pasal 12 huruf e: Pungutan liar bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika dilakukan oleh pejabat sekolah.
🧩 Sudut Pandang Sekolah: Dilema Anggaran
Beberapa kepala sekolah yang ditemui menolak disebut melakukan pungli. “Kami hanya meneruskan aspirasi komite,” kata salah satu kepala SMKN. Ia berdalih, dana BOS tidak cukup untuk membayar listrik, internet, hingga program keterampilan. “Kalau semua ditanggung negara, ya semestinya didanai penuh,” imbuhnya.
Namun, suara ini tak bisa menjadi pembenar. Karena jika semua pungutan jadi ‘kebiasaan’, maka hak pendidikan yang seharusnya gratis jadi ilusi.
📢 Suara Wali Murid dan Aktivis: ‘Kami Ingin Transparansi’
Wali murid yang kami temui di SMKN 1 Tanjunganom mengatakan:
“Aku siap nyumbang, asal jelas. Ini ora transparan. Lha kok tahu-tahu diminta segini, tanpa rapat, tanpa nota. Iki sekolah opo koperasi?”
LSM Pendidikan Nganjuk Raya bahkan telah melaporkan beberapa sekolah ke Cabang Dinas Pendidikan Jatim. Mereka menilai banyak praktik manipulatif yang melanggar Permendikbud dan berpotensi melanggar hukum pidana.
🌱 Apa Solusinya?
- Audit Independen terhadap seluruh iuran berbasis komite.
- Transparansi Dana: Laporan bulanan yang bisa diakses wali murid.
- Edukasi Publik tentang hak-hak peserta didik dan batasan peran sekolah.
- Reformasi Sistemik: Negara harus menyuntik dana memadai, agar sekolah tidak menjadikan orang tua sebagai “ATM tambahan”.
🧭 Pendidikan Itu Investasi, Bukan Beban Tambahan
Pendidikan seharusnya jadi jembatan menuju kemajuan sosial dan ekonomi. Tapi jika aksesnya dibatasi oleh pungutan yang tak jelas, yang kaya akan makin cerdas, yang miskin akan makin tertinggal.
Seorang tukang parkir yang anaknya masuk SMK pernah berkata,
“Mas, aku ikhlas kerja siang malam. Tapi nek kudu bayar Rp 2 juta tanpa ngerti buat opo, rasane kaya dikerjai.”
Semoga pendidikan kita tak jadi dagangan, dan “gotong royong” tak jadi tameng pungli. Karena masa depan bangsa bukan ditentukan oleh jumlah sumbangan, tapi oleh semangat tlaten lan sabar — membangun pelan-pelan, tanpa tipu-tipu.
Dan ingat:
“Nek pengen instant, godok mie ae… Pendidikan butuh proses!”