💥 “Pemkab Kediri Gelontorkan Triliunan, Tapi Siapa yang Menagih Akuntabilitas?”
Oleh Redaksi Edu-Politik | Investigasi & Hukum
Kediri — Di tengah euforia pembangunan dan jargon “zero stunting”, Pemerintah Kabupaten Kediri membentangkan rencana ambisius bernilai Rp 3,55 triliun dalam APBD 2025. Dana publik sebanyak itu—yang secara hukum tunduk pada prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sesuai Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara—dijanjikan untuk rakyat. Tapi benarkah semuanya berpihak pada rakyat? Atau sekadar proyek politik elektoral yang dibungkus data optimistik?
💰 Anggaran Jumbo, Evaluasi Kerdil
Dari program sertifikasi tanah (PTSL), zero stunting, hingga perbaikan infrastruktur desa lewat BKK, semua terdengar menjanjikan. Namun hingga kini, belum tersedia laporan LPPD maupun audit kinerja independen yang menunjukkan capaian terukur dari tiap program. Ini menyalahi asas akuntabilitas publik sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan pertanggungjawaban kinerja kepala daerah setiap tahun.
➡️ Contoh nyata:
Program BKK Rp 51,45 miliar disalurkan ke 343 desa—namun, siapa yang mengaudit hasilnya? Apakah jalan desa itu tahan musim hujan? Apakah pembangunannya menggunakan prinsip partisipasi seperti diamanatkan dalam Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Perencanaan Pembangunan Desa?
👶 Zero Stunting atau Zero Transparansi?
Bupati Kediri mencanangkan program ambisius: Zero Stunting. Tapi data yang digunakan masih berada di angka 7% (tanpa rujukan data sumber terbuka). Padahal, Pasal 20 ayat (2) UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 mewajibkan pemerintah daerah membuka informasi faktual tentang pelayanan publik, termasuk kesehatan anak.
Ironisnya, seorang bidan di lapangan justru mengakui bahwa intervensi gizi sering terhambat karena keterbatasan SDM dan kesadaran warga. Maka pertanyaan hukum muncul: Apakah program ini berbasis evidence-based policy atau hanya target populis?
🧾 PTSL: Sertifikat Tanah atau Legalitas Oligarki?
Program PTSL yang dibiayai APBD dan APBN untuk 56.000 sertifikat tanah terlihat pro-rakyat. Tapi bagaimana pengawasannya? Bagaimana skema prioritasnya? Adakah risiko bahwa program ini justru dimanfaatkan oleh pemodal besar untuk mengonsolidasi kepemilikan lahan, terutama di wilayah strategis dan agraria sengketa?
Jika tidak diawasi secara ketat, PTSL bisa jadi pintu masuk konflik agraria baru. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa tanah dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat—bukan untuk memperkaya kelompok tertentu lewat jalur legal-formal tanpa kontrol sosial.
🤝 Baznas: Dana Zakat Diatur Siapa?
Baznas Kediri berhasil mengumpulkan Rp 7,4 miliar dana zakat. Namun, belum ada laporan publik terverifikasi tentang efektivitas dan sebaran dana ini. Hal ini bisa melanggar prinsip syariah yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, terutama Pasal 17 ayat (3) yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas publik.
Jangan sampai program-program sosial ini dijadikan etalase kebajikan oleh elite lokal, tapi nihil hasil yang terukur bagi mustahiq.
⚖️ Warga Berhak Menagih, Bukan Sekadar Mendengar
Menurut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), program daerah harus memenuhi lima pilar: akuntabilitas, partisipasi, transparansi, efektivitas, dan supremasi hukum. Jika Pemkab hanya fokus pada distribusi anggaran tanpa membuka ruang kontrol publik, maka apa yang terjadi bukan pembangunan—melainkan penyamaran kepentingan.
📌 Siapa yang mengawasi program ini secara independen?
📌 Di mana mekanisme partisipasi warga dalam verifikasi hasilnya?
📌 Apakah BPK, BPKP, atau inspektorat sudah mengaudit kinerja bukan hanya keuangan?
🛑 Jangan Puas dengan Data Tanpa Konteks
Sah-sah saja Pemkab menyebut capaian lewat jumlah: sertifikat terbit, dana digelontorkan, program diluncurkan. Tapi seperti kata Prof. Jimly Asshiddiqie, “negara hukum tidak berhenti pada prosedur, tapi pada keadilan substantif.”
Publik butuh bukan hanya program—melainkan jaminan hasil dan bukti dampak nyata. Maka kritik bukan bentuk sinisme, tapi bagian dari fungsi konstitusional warga negara dalam sistem demokrasi desentralistik.
📢 Pelajaran penting:
“Tanyakan, awasi, tagih. Anggaran rakyat bukan milik Bupati. Bukan milik OPD. Tapi milik publik yang berhak tahu ke mana uang itu pergi, dan apa hasilnya.”
Ingin menelusuri lebih lanjut?
- Ajukan permintaan informasi publik ke PPID Kabupaten Kediri.
- Bandingkan rencana dan realisasi program melalui LKPJ Bupati tahun berjalan.
- Ikuti audit BPK atas Laporan Keuangan Pemda Kediri tahun 2024 (biasanya terbit kuartal II tahun berjalan).
Edu-Politik bukan hanya bicara politik, tapi mengedukasi publik dengan logika, hukum, dan nurani.