Mahal dan Tipis: Polemik Seragam di SMKN 1 Nganjuk, Antara Suara Wali Murid dan Tanggapan Sekolah
Nganjuk, edu-politik.com – Suasana awal tahun ajaran baru diwarnai gejolak di SMKN 1 Nganjuk. Melalui unggahan Facebook yang kini viral, seorang wali murid menyuarakan kritik keras terkait kualitas kain dan harga seragam sekolah yang dinilai “tidak sebanding”, bahkan menyebut kain seragam sebagai “mirip gombal tipis”.
Keluhan ini menyasar langsung pada kebijakan pembelian seragam yang dianggap memberatkan dan tidak transparan. Dalam unggahan tersebut, wali murid menyebut bahwa harga seragam yang dipatok mencapai jutaan rupiah tergantung ukuran (S hingga XXXL), namun tidak diimbangi dengan kualitas kain yang layak. Parahnya, menurutnya, tidak ada bukti pembelian yang diberikan.
Berikut adalah rincian harga yang disebut dalam unggahan:
- Ukuran S: Rp1.343.000
- Ukuran M: Rp1.572.000
- Ukuran L: Rp1.617.500
- Ukuran XL: Rp1.800.500
- Ukuran XXL: Rp2.029.000
- Ukuran XXXL: Rp2.257.500
“Kalau memang kain seperti itu, lalu harganya segitu, apa tidak terlalu membebani wali murid?” tulis akun tersebut. Ia juga menambahkan bahwa wali murid membayar dengan uang, bukan “daun singkong”.
Kritik juga dilayangkan pada sikap beberapa guru dan pihak sekolah yang dinilai kurang terbuka terhadap suara orang tua murid. Unggahan tersebut juga menyentil nada arogan dari pihak sekolah yang diduga mengatakan, “Kalau tidak mau ikut aturan sekolah, cari sekolah lain saja.”
Pihak Sekolah Gagap Merespons
Ketika dikonfirmasi oleh wartawan edu-politik.com, Kepala Sekolah SMKN 1 Nganjuk mengakui bahwa ada sebagian informasi yang benar, terutama terkait harga, namun enggan menjelaskan lebih lanjut soal merek kain yang digunakan. Meminta agar diperlihatkan contoh kain juga tidak diberi. Namun hingga berita ini ditulis, klarifikasi detail terkait kualitas kain, sistem pengadaan, dan dasar harga belum diperoleh secara resmi.
Perspektif Dinas dan Hukum Pendidikan
Dihubungi secara terpisah, seorang pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Malang menyampaikan bahwa “Setiap sekolah negeri, terlebih yang dibiayai negara, tidak boleh bersikap komersial terhadap kebutuhan dasar siswa, seperti seragam. Wali murid seharusnya diberi pilihan, termasuk membeli seragam di luar sekolah selama sesuai dengan ketentuan model.”
Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk belum memberikan keterangan resmi. Permintaan wawancara kami masih tertahan hingga berita ini diterbitkan.
Suara Masyarakat: Antara Takut dan Peduli
Postingan viral tersebut juga memantik diskusi lebih luas di kalangan orang tua. Banyak yang menyatakan setuju namun tidak berani bersuara terbuka karena khawatir berdampak pada anak mereka.
“Saya pribadi tidak akan capek-capek mengkritik keras aturan yang menurut saya konyol,” ujar sang wali murid dalam postingannya, yang kemudian ditutup dengan ajakan: “Mari jadi wali murid yang kritis, karena cari uang itu susah.”
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa transparansi dan komunikasi adalah hal mendasar dalam dunia pendidikan. Ketika sekolah memilih untuk menjual seragam, mekanisme pengadaan dan distribusinya harus jelas, adil, dan tidak membebani. Kini, tinggal menunggu: apakah pihak sekolah dan dinas akan memberikan penjelasan komprehensif, atau publik kembali harus menunggu hingga viral berikutnya?