Ketika Lidah Mertua Lebih Berat dari Uang Negara: Potret Ironi Hukum di Negeri Sendiri
Oleh: Tim Advokasi Nalar Publik
Di sebuah desa kecil, seorang teman mencabut tanaman lidah mertua milik tetangga. Bukan mencuri satu truk, bukan pula hasil komplotan kriminal. Hanya satu pot. Tapi putusan pengadilan tak mengenal belas kasihan: 1 tahun 6 bulan penjara.
Tak jauh dari sana, di gedung megah bercahaya marmer, seorang pejabat negara korupsi dana rakyat hingga miliaran rupiah. Setelah melalui proses hukum yang berliku, ia dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa. Beberapa bulan kemudian, kabar cuti bersyarat dan potongan masa tahanan pun menghiasi lembar berita.
Apa yang salah? Apakah lidah mertua lebih berat dari uang negara?
Dua Dunia, Satu Pasal
Secara hukum, semua ini sah. Pencurian barang milik orang lain diatur dalam Pasal 362 KUHP, maksimal 5 tahun. Sementara korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, dengan pidana minimal 4 tahun.
Tapi yang membuat luka bukan pasalnya. Luka itu datang saat rakyat menyaksikan si kecil dihukum penuh, dan si besar dinegosiasikan hukumannya.
Coba pikirkan:
- Pencuri ayam divonis 8 bulan.
- Pencuri tanaman divonis 1,5 tahun.
- Koruptor bansos divonis 4,5 tahun dan dapat remisi.
Angka itu tak lagi netral. Ia berubah jadi simbol ketidakadilan.
Ketika Ruang Sidang Tak Lagi Netral
Seorang hakim pernah berkata, “Kami hanya menimbang berdasarkan fakta hukum.” Tapi faktanya, si pencuri ayam datang ke sidang tanpa pengacara, tanpa pembela, dan kadang bahkan tanpa keluarga yang hadir. Ia berdiri sendiri di hadapan palu kekuasaan.
Sementara si koruptor datang dengan rombongan penasihat hukum, mengenakan jas, membawa rekam jejak birokrasi yang dipoles rapi. “Ia telah mengembalikan kerugian negara,” kata jaksa. “Ia memiliki anak istri yang harus dinafkahi,” kata pengacara. Maka palu pun turun, lebih ringan dari beban rakyat yang ia curangi.
Restoratif untuk Si Kecil, Tegas untuk Si Kuasa
Ironi ini sudah lama tumbuh dalam diam. Tapi kini, masyarakat mulai menggugat. Mengapa pencuri kecil tidak dibina melalui restorative justice? Mengapa koruptor tidak dilarang total dari remisi, apalagi potongan masa tahanan?
Pemerintah memang telah menerbitkan Perkap No. 8 Tahun 2021 tentang Restorative Justice, memungkinkan penyelesaian damai untuk tindak pidana ringan. Tapi di banyak daerah, kebijakan itu belum turun dari meja ke jalan.
Dan sementara itu, penjara kita penuh oleh rakyat kecil. Data Ditjen PAS menunjukkan: mayoritas penghuni lapas adalah pelaku pencurian ringan dan pengguna narkoba, bukan koruptor kelas kakap.
Menjahit Ulang Keadilan
Keadilan bukan hanya tertulis dalam pasal. Ia harus terasa. Ketika pencuri ayam dipenjara lebih lama dari pencuri APBN, yang terluka bukan hanya hukum, tapi kepercayaan rakyat terhadap negara.
Barangkali sudah waktunya kita menjahit ulang keadilan.
- Menguatkan lembaga bantuan hukum gratis di desa-desa.
- Menyusun pedoman pemidanaan yang adil dan manusiawi.
- Memastikan koruptor tidak mendapat keistimewaan remisi.
- Dan yang paling penting, membuka mata hukum agar tidak hanya melihat besarnya barang, tapi juga kecilnya harapan orang kecil.
Hukum Harus Membela yang Lemah, Bukan yang Berkuasa
Di negeri yang katanya demokrasi, kita tak boleh hanya puas berkata, “Begitulah hukumnya.” Karena hukum sejatinya bukan sekadar teks. Ia adalah janji. Dan janji itu tidak boleh dikotori oleh kekuasaan.
Sebab bila mencuri lidah mertua dihukum 1,5 tahun, dan mencuri masa depan rakyat dihukum hanya 4,5 tahun, maka mungkin yang seharusnya diadili… bukan hanya pelakunya, tapi sistem yang membiarkannya terus terjadi.