Naiknya Si Pandai Bersandiwara: Ketika Integritas Dikalahkan oleh Ilusi
Oleh: Redaksi Edu-Politik
“Di negeri di mana kebenaran hanya sebatas narasi, yang bersuara lantang kadang lebih didengar ketimbang yang benar-benar bekerja.”
Di ruang-ruang rapat yang sunyi namun penuh bisik-bisik kekuasaan, seringkali bukan si cerdas yang naik jabatan, melainkan dia yang lihai bersandiwara—penuh senyum di depan, menusuk diam-diam dari belakang.
Fenomena ini bukan sekadar cerita fiksi politik, tapi realitas sosial yang mengakar di berbagai sektor kehidupan Indonesia: dari meja birokrasi hingga panggung politik nasional.
🎭 Bakat Bersandiwara, Jalan Pintas Karier?
Di banyak instansi, kita melihat pola yang makin kentara: mereka yang jujur dan bekerja keras justru terpinggirkan, sementara yang pandai “bermain peran” malah melesat cepat. Laporan dari Ombudsman RI dan Komisi ASN mencatat bahwa jual-beli jabatan dan promosi berdasarkan kedekatan masih marak terjadi.
Dalam sistem yang permisif terhadap manipulasi, integritas kerap dianggap naif. Orang yang menyuarakan kebenaran dianggap ancaman, sementara yang pandai menciptakan “kenyamanan semu” justru disukai.
⚖️ Akuntabilitas yang Setengah Hati
Mengapa hal ini terus terjadi? Jawabannya sederhana dan menyakitkan: karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang kuat. Evaluasi kinerja seringkali hanya formalitas, tanpa tolok ukur yang objektif.
Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di tahun 2023 stagnan di angka 34/100—sinyal kuat bahwa akuntabilitas masih menjadi barang mewah di negeri ini.
📉 Ketika Meritokrasi Gagal Menyala
Di atas kertas, Indonesia menganut sistem meritokrasi dalam ASN dan lembaga publik. Namun dalam praktiknya, merit bisa dikalahkan oleh “siapa yang Anda kenal”, bukan “apa yang Anda kuasai”.
Tak sedikit pegawai yang mengeluh—dengan kinerja cemerlang bertahun-tahun, mereka tetap di tempat yang sama. Sementara rekan yang “ramah ke atasan” mendaki jabatan dalam hitungan bulan.
🌱 Harapan yang Belum Mati
Meski begitu, harapan belum pupus. Generasi muda mulai mempertanyakan narasi-narasi usang ini. Gerakan integritas, whistleblower, dan sistem transparansi berbasis digital mulai menampakkan taring.
Pertanyaannya kini: akankah sistem berubah sebelum integritas benar-benar kehilangan tempatnya?
“Bangsa yang besar bukan hanya tentang siapa yang bisa berbicara paling nyaring, tapi siapa yang paling jujur ketika tak ada yang mendengar.”