Menjaga Data, Menantang Kuasa: Jejak Bisnis Data Center dan Kedaulatan Digital Indonesia
Oleh: Tim Investigasi Edu-Politik
Di balik gemerlap investasi miliaran dolar dan jargon digitalisasi, ada pertanyaan yang belum dijawab: seberapa merdeka sebenarnya data rakyat Indonesia?
Di Balik Layar Silicon Tropis
Pagi yang biasa di Jakarta. Di gedung-gedung megah yang berdiri di Cikarang, Sentul, hingga Batam, mesin-mesin pendingin mendengung konstan. Cahaya LED berkedip pelan dari rak server yang tak henti beroperasi. Inilah jantung era digital kita: pusat data (data center) — bangunan superketat yang menyimpan lebih dari sekadar informasi. Ia menyimpan kendali atas masa depan digital bangsa.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, Indonesia menjelma menjadi titik panas investasi data center di Asia Tenggara, menyalip Singapura dalam luas lahan yang tersedia. Cushman & Wakefield mencatat nilai pasar mencapai USD 2,39 miliar di tahun 2025, dan diperkirakan akan melejit hingga USD 7 miliar dalam lima tahun ke depan.
Namun, di balik lonjakan angka ini, pertanyaan fundamental mengintai:
Siapa yang memegang kunci akses atas data kita? Siapa yang sebenarnya berdaulat atas infrastruktur digital bangsa?
Raja Tanpa Takhta – Negara dalam Bayang-bayang Korporasi Cloud
Pemain utama industri ini bukan institusi negara. Mereka adalah raksasa-raksasa: Amazon Web Services (AWS), Google Cloud, Microsoft Azure, Alibaba, Tencent, hingga pemain regional seperti Princeton Digital Group, EdgeConneX, dan BDx.
Kebanyakan dari mereka bukan membangun, tapi “menyewa” kedaulatan—membuka availability zone, region cloud, dan layanan hyperscale untuk pasar domestik. Namun, infrastruktur, kendali teknologi, bahkan cadangan data dan enkripsi, tetap dikendalikan dari luar negeri.
Sementara itu, regulasi lokal seperti PP 71/2019 dan PP 82/2012 memang mewajibkan data publik disimpan di dalam negeri. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa memastikan bagaimana enkripsi, backup, dan manajemen sistem diatur.
“Kami menyimpan data Anda di Indonesia,” kata iklan mereka. Tapi siapa yang mengendalikan dashboard-nya? Bukan Ditjen Aptika. Bukan Menkominfo. Bahkan seringkali, bukan perusahaan Indonesia sendiri.
Infrastruktur Setengah Jadi, Krisis Tenaga Ahli
Meski investasi deras mengalir, infrastruktur dasar belum mengejar.
Pembangkit listrik berdaya besar di Jakarta dan Batam masih rentan. Grid Java-Bali berulang kali alami gangguan daya, memperlambat commissioning proyek hyperscale.
Tak hanya itu. Tenaga kerja lokal untuk MEP (mechanical-electrical-plumbing), cloud engineer, dan cyber resilience masih sangat terbatas. Sebagian besar proyek bersandar pada tenaga kerja asing (TKA) dan konsultan luar negeri. Ironisnya, sementara Indonesia “dijual” sebagai pasar masa depan, rakyatnya hanya menjadi penonton dengan gaji murah.
Serangan yang Membuka Borok
Juni 2024 menjadi babak kelam. 44 lembaga pemerintah diretas. Pusat Data Nasional lumpuh.
Serangan ransomware LockBit 3.0 menembus sistem yang seharusnya jadi garda terdepan pertahanan data. Pemerintah menjanjikan pemulihan. Tapi masyarakat bertanya:
- Mengapa sistem pertahanan tidak sekelas investasi?
- Apakah ini hanya kegagalan teknis, atau tanda bahwa data kita sudah bukan milik kita?
Dari Menara Server ke Menara Gading
Di ruang seminar, pemerintah bangga bicara soal “Making Indonesia 4.0”, tentang revolusi industri, digitalisasi UMKM, dan smart city. Tapi seperti biasa, narasi dibangun dari atas—bukan dari kebutuhan rakyat.
Tak ada pembicaraan soal digital literacy rakyat, perlindungan hak digital warga, atau audit independen atas pengelolaan data publik. Bahkan saat data kesehatan, pendidikan, dan identitas rakyat tersimpan dalam sistem cloud, kita tidak tahu siapa auditor terakhir yang bisa menekan tombol “delete” atau “restore”.
Merdeka di Server Sendiri
Jika data adalah minyak baru, maka Indonesia adalah ladang kaya yang belum memiliki kilang.
Jika kedaulatan digital adalah pilar bangsa, maka kita sedang membangunnya di atas server orang lain.
Apakah kita hanya ingin jadi pasar? Atau pemilik penuh atas sistem digital bangsa?
Feature ini bukan hanya soal infrastruktur digital—tapi soal masa depan kemerdekaan.
Bukan hanya tentang teknologi—tapi tentang siapa yang mengendalikan teknologi itu untuk siapa.
🧩 Rekomendasi Investigatif Lanjutan:
- Audit publik atas sistem Pusat Data Nasional.
- RUU Perlindungan Data Pribadi: harus mengatur kontrol penuh atas data sovereignty.
- Peningkatan anggaran pendidikan vokasi untuk tenaga teknis data center.
- Buka keterlibatan masyarakat sipil dan akademisi dalam evaluasi kontrak infrastruktur digital asing.