Tukar Guling Rasa Guling-Guling: Ketika Bendungan Semantok Mengalirkan Dana Rakyat ke Sungai Ketidakjelasan
Oleh: Redaksi Edu-Politik.com
Di sebuah desa yang dulunya sunyi di Kabupaten Nganjuk, aliran air tidak hanya datang dari bendungan—tapi juga dari peluh dan air mata warga. Bendungan Semantok, yang konon katanya akan menjadi salah satu bendungan terpanjang di Asia Tenggara, kini membawa lebih dari sekadar debit air: ia juga membawa cerita tentang tanah, tukar guling, dan aroma APBD yang begitu… sedap.
“Kami tukar tanah kami, katanya demi kemajuan,” ujar Pak Warto, warga yang tanah sawahnya kini jadi genangan. “Tapi yang datang bukan kemajuan, cuma janji-janji yang hilang dibawa arus.”
Pemerintah daerah berdalih bahwa proses tukar guling telah melalui mekanisme yang “transparan”, meski definisi transparansi tampaknya berubah jadi “tembus pandang tapi tak bisa disentuh”. Dana APBD pun ikut mengalir, bukan untuk irigasi, tapi untuk mengganti tanah warga—yang katanya diganti setara, padahal warga menduga lebih setara untuk pihak yang lebih dekat dengan meja kekuasaan.
Bendungan Impian, Gulingan Kenyataan
Dalam dokumen perencanaan, pembangunan Bendungan Semantok disebut-sebut akan memberi manfaat besar: pengairan ribuan hektar sawah, cadangan air untuk musim kemarau, dan bahkan ekowisata. Namun, warga yang terdampak justru merasa sedang ikut kontes “siapa yang bisa bertahan hidup tanpa lahan dan suara”.
“Kami diminta percaya pada negara. Tapi kami tak pernah diminta bicara,” kata Ibu Sukinem, yang kini menggantungkan hidup dari warung kecil setelah ladangnya hilang.
Aktivis lokal menyuarakan kekhawatiran bahwa proyek strategis nasional ini justru menjadi proyek strategis individual, di mana proses tukar guling dilakukan tanpa musyawarah yang layak, apalagi pendekatan sosial budaya.
“Kalau rakyat disuruh guling, tolong sediakan alas yang empuk,” cuit seorang aktivis di Twitter, menanggapi berita bahwa sebagian dana pengadaan tanah diduga mengalir ke pihak-pihak non-rakyat.
Ketika Guling Jadi Jalan Sunyi
Proyek bendungan besar, memang selalu jadi magnet. Magnet untuk janji politik, kontrak konstruksi, dan kadang, ya… magnet untuk penyelewengan. Masyarakat hanya bisa melihat dari jauh, berharap janji pembangunan tak hanya sekadar dibangun di atas papan proyek.
Namun, sebagaimana tanah yang digulingkan, suara rakyat pun sering digelindingkan—dari forum ke forum, dari berita ke berita, tanpa pernah benar-benar berhenti di meja keadilan.
Dan seperti air bendungan yang tertahan tapi siap meluap, siapa tahu suara rakyat juga akan mencari jalannya sendiri.