Dilema Tukar Guling Bendungan Semantok: Antara Pembangunan dan Keadilan Agraria
Nganjuk, Jawa Timur — Proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Semantok di Kabupaten Nganjuk kembali menuai sorotan. Di balik gempita pembangunan dan prospek peningkatan ketahanan air di wilayah Jawa Timur, tersimpan kisah warga yang mempertanyakan keadilan dalam skema tukar guling tanah yang digunakan sebagai bagian dari pelaksanaan proyek tersebut.
Proyek Nasional, Dana Daerah
Bendungan Semantok, yang digadang-gadang sebagai bendungan terpanjang di Asia Tenggara, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, dalam proses pembebasan lahan untuk akses jalan maupun pendukung konstruksi, sebagian pengadaan tanah dan proses tukar guling disebut-sebut menggunakan APBD Kabupaten Nganjuk.
Skema ini menimbulkan pertanyaan dari sisi legalitas dan prinsip transparansi keuangan negara, sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 23 UUD 1945: Menyatakan bahwa keuangan negara harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
- UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, khususnya Pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan masyarakat terdampak.
Tukar Guling atau Tukar Nasib?
Warga di sekitar Kecamatan Rejoso dan Sawahan mengeluhkan proses tukar guling tanah yang tidak melibatkan musyawarah mufakat yang utuh, serta minimnya keterbukaan informasi publik mengenai status tanah pengganti, nilai appraisal, hingga SK Bupati yang digunakan sebagai dasar legal.
“Tanah kami digunakan untuk pembangunan, tapi yang kami dapat tanah di lokasi jauh, kualitasnya tidak setara, dan banyak statusnya belum bersertifikat,” ujar Sarmini, warga terdampak, kepada wartawan.
Di sisi lain, beberapa kepala desa menyatakan tidak dilibatkan dalam proses verifikasi lahan pengganti, dan hanya menerima dokumen untuk ditandatangani.
Aspek Hukum Tukar Guling Tanah
Skema tukar guling tanah milik desa atau masyarakat diatur dalam:
- Permendagri No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, yang menyatakan bahwa pemindahtanganan aset desa harus melalui persetujuan BPD dan dilakukan dengan asas keadilan.
- PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, khususnya Pasal 79 yang mensyaratkan appraisal dan pertanggungjawaban nilai dalam proses tukar menukar aset.
Jika skema tukar guling dilakukan tanpa musyawarah desa dan tanpa persetujuan DPRD untuk penggunaan APBD, maka ada potensi pelanggaran terhadap:
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terkait kewenangan pengelolaan keuangan daerah.
- Prinsip hukum good governance dalam administrasi pemerintahan.
Sosiologi Pembangunan: Infrastruktur untuk Siapa?
Dari sudut pandang sosiologi, fenomena ini mencerminkan tensinya relasi negara vs warga dalam proyek pembangunan. Pembangunan infrastruktur yang diproyeksikan membawa manfaat luas, ternyata dapat menjadi pemicu ketimpangan sosial baru jika tidak disertai distribusi manfaat yang adil dan pendekatan partisipatif.
Teori pembangunan ala James Scott tentang “Seeing Like a State” mengingatkan bahwa negara sering kali melihat dari kacamata teknokratik, sementara pengalaman warga bersifat lokal dan kontekstual—dan ketimpangan persepsi inilah yang sering memicu konflik agraria.
Arah Penyelesaian: Keadilan Restoratif dan Audit Publik
Pakar hukum agraria menekankan bahwa penyelesaian kasus ini tidak cukup dengan legalisasi administratif semata. Audit investigatif atas proses tukar guling oleh Inspektorat dan BPK, serta mediasi multipihak antara warga, pemerintah kabupaten, dan pemerintah pusat, menjadi jalan tengah yang menjanjikan.
Selain itu, warga mendesak KPK dan Ombudsman untuk turut serta meninjau aspek kepatuhan hukum dan potensi maladministrasi dalam proyek ini.
Di negeri yang sedang giat membangun, pembangunan fisik tidak boleh mengalahkan pembangunan moral dan keadilan sosial. Proyek Bendungan Semantok sejatinya bisa menjadi simbol kemajuan—asal tak dibangun di atas pengorbanan diam-diam para petani kecil.
“Bukan bendungannya yang bermasalah, tapi caranya yang harus dibenahi.” – warga terdampak