Demokrasi Harga Sembako: Saat Pemilih Jadi Konsumen Politik Murah Meriah
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
Di sebuah negeri bernama Demokrasi, rakyat selalu punya harapan besar saat musim pemilu tiba. Bukan karena visi misi calon yang canggih seperti AI OpenAI, tapi karena kalender politik adalah kalender panen: panen bansos, panen janji, dan tentu saja panen amplop.
Tahun 2024 adalah tahun yang sakral. Setelah Putusan MK No. 135 yang mengguncang langit hukum, semesta perundang-undangan mulai berbenah. UU Pemilu akan direvisi. Katanya, demi keadilan. Tapi rakyat tahu: kalau sudah “katanya”, biasanya tak jauh-jauh dari “katanya Tuhan turun dari langit”.
Di desa terpencil yang sinyalnya kalah kuat dibandingkan janji caleg, bansos turun seperti mukjizat. Minyak goreng, beras, mie instan, bahkan selfie bersama pejabat, dibungkus rapi dengan senyum palsu dan caption: “Untuk Kesejahteraan Rakyat.”
Padahal jika ditelusuri lebih dalam, yang dibagi bukan sekadar bantuan, tapi juga rasa takut. Takut kehilangan pekerjaan kontrak, takut anak tak dapat beasiswa, takut dituduh “tidak bersyukur” karena menolak mie instan.
Sosiolog menyebut ini sebagai bentuk relasi kuasa semu, di mana rakyat dibuat “berterima kasih” atas haknya sendiri. Seakan-akan bansos itu bukan berasal dari uang negara, tapi dari kantong celana caleg yang sudah bolong duluan.
“Manipulasi pemilih?” tanya seorang mahasiswa magang. “Ah, itu mah cuma strategi branding,” jawab seniornya yang sudah dua kali jadi tim sukses. Di negeri ini, politik bukan soal ide, tapi soal logistik dan logika yang ditekuk seperti sendok plastik dalam nasi kotak.
Sementara di Jakarta, elite berdiskusi di hotel bintang lima tentang demokrasi. Di layar presentasi tertulis: “Transparansi dan Akuntabilitas Pemilu.” Tapi layar itu tak mampu menampilkan realitas di lapangan: rakyat yang memilih bukan karena yakin, tapi karena takut tak dapat jatah bantuan bulan depan.
Jika demikian, untuk apa pemilu? Untuk siapa demokrasi? Kalau rakyat hanya dijadikan objek, dan negara seperti pawang hujan yang mengatur kapan bansos turun dan kapan harus mandek.
Sampai kapan rakyat harus memilih karena lapar, bukan karena logika?
Demokrasi kita sedang baik-baik saja. Tapi rakyatnya, sudah makan belum?