Antara Rindangnya Pohon dan Tipisnya Toleransi: Saat Daun Jatuh pun Bisa Berujung Gugatan
Oleh: Redaksi
Jakarta — Jika dulu pohon rindang di halaman tetangga dianggap simbol kesejukan dan ketenteraman, kini ia bisa berubah menjadi terdakwa dalam gugatan perdata. Ya, zaman memang telah berubah. Hari ini, gugatan bukan lagi soal tanah atau warisan. Daun kering nyasar dan dahan ngintip dari pagar pun bisa masuk pengadilan.
“Pohon tetangga itu ganggu pemandangan, tiap pagi saya harus sapu daun yang bukan dari pohon saya. Ini hak saya sebagai pemilik rumah bersih!” ujar seorang warga perumahan elite yang enggan disebut namanya, sambil menunjuk pohon ketapang berusia 12 tahun yang berdiri gagah di sebelah rumahnya.
Pasal Demi Pasal Daun Berguguran
Menurut artikel Detik, ada dasar hukum yang bisa digunakan jika pohon tetangga mengganggu:
- Pasal 671 KUH Perdata: tentang kewajiban menjaga pohon agar tidak merusak hak milik tetangga.
- Pasal 1365 KUH Perdata: tentang perbuatan melawan hukum.
- Pasal 625 KUH Perdata: pemilik tanah berhak menuntut cabang dan akar pohon yang masuk pekarangan.
Artinya, jika ada dahan lewat pagar atau akar nyelonong ke pekarangan rumah, Anda bisa bersalin rupa jadi penggugat. Tentu saja, dengan syarat kuat: Anda harus lebih mencintai pagar Anda daripada oksigen gratis dari daun tetangga.
“Pohonmu, Masalahku” dan Hukum yang Siap Menampung Ketersinggungan
“Kadang saya heran, kita ini mau hidup berdampingan atau berdempetan?” kata Bu Nur, seorang ibu rumah tangga di Bekasi, “Dulu kalau pohon rindang ya senang, bisa nebeng adem. Sekarang, baru daun nyangkut pagar langsung WA RT. Belum sempat minta maaf, udah dikirimin somasi!”
Ironisnya, sebagian besar kasus seperti ini tak hanya mencerminkan konflik soal pohon, melainkan juga kedangkalan komunikasi antartetangga. Bukan hukum yang kurang bijak, tetapi hati yang makin sempit.
“Kalau mau semua pohon tidak boleh nyelonong, ya tanam bonsai saja semua. Tapi siapa yang bikin udara sejuk? AC?” sindir Pak Har, seorang pensiunan jaksa yang kini aktif sebagai mediator warga.
Dari Tunggakan Daun ke Tunggakan Hati
Persoalan hukum yang menyeret pohon sebagai pihak tak resmi dalam perkara hanyalah satu cerminan betapa batas toleransi sosial telah digerus zaman. Padahal, akar masalahnya bukan pada akar pohon, tetapi pada akar hubungan manusia.
Jika gugatan jadi pilihan pertama, kapan kiranya obrolan santai di pagar bisa jadi solusi?
Editor’s Note:
Satire ini bukan untuk mengejek hukum, melainkan untuk mengingatkan bahwa hukum adalah alat bantu terakhir, bukan tongkat pertama dalam menyelesaikan persoalan sosial. Mari duduk di bawah pohon, bukan di depan hakim.