🗞️ “Penjilat, Penghambat Reformasi: Ketika Keadilan Ditenggelamkan Loyalitas Palsu”
Oleh Redaksi Edu-Politik.com
“Bukan virus, bukan nuklir, bukan negara lain. Ancaman terbesar kita adalah penjilat.” – Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan
🔍 Pendahuluan: Negara Dalam Cengkeraman Loyalitas Buta
Di tengah hiruk pikuk jargon “reformasi hukum” dan “pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu”, muncul satu kalimat sederhana namun menusuk: “Penjilat adalah ancaman terbesar negeri ini.”
Pernyataan itu bukan datang dari aktivis jalanan, tapi dari Tom Lembong, mantan menteri dan ekonom yang pernah duduk di lingkaran dalam kekuasaan. Ia tidak menunjuk siapa-siapa, tapi kita semua tahu — penjilat bukan soal individu, tapi soal budaya.
⚖️ Realitas Pahit: Koruptor Berpangkat, Kejaksaan Bergeming
Beberapa bulan terakhir, sorotan tajam tertuju ke institusi yang sejatinya menjadi ujung tombak penegakan hukum: Kejaksaan Agung RI.
Berikut beberapa fakta empirik yang mencederai kepercayaan publik:
- Kasus dugaan korupsi di Mahkamah Agung (MA) yang menyeret hakim agung dan pejabat strukturalnya belum tuntas secara menyeluruh. Banyak aktor diduga masih bersembunyi di balik “kekuasaan yudikatif”.
- Kasus korupsi BTS 4G Kominfo yang menyeret Johnny G Plate berhasil diungkap, tetapi dugaan intervensi dalam pelacakan aliran uang ke tokoh politik lain cenderung stagnan.
- Proses pemeriksaan terhadap oknum internal Kejaksaan sendiri sering kali bersifat tertutup, penuh tabir, dan minim transparansi. Salah satunya dugaan keterlibatan jaksa dalam “mengamankan” perkara.
Ketika koruptor mengenakan toga atau jas dinas negara, dan proses hukum justru berhenti di ruang-ruang sunyi yang tak terjangkau rakyat — publik mulai bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa? Hukum, atau kedekatan?
đź§ Budaya ABS (Asal Bapak Senang): Penjilat vs Profesionalitas
Tom Lembong menyebut “penjilat” bukan sekadar individu, tetapi sebagai virus struktural: “Karena penjilat itu menjerumuskan pimpinan kita ke arah yang salah…”
Budaya ini dikenal sejak era Orde Baru dengan istilah ABS – Asal Bapak Senang. Ia menjelma dalam bentuk:
- ASN dan pejabat yang menyembunyikan fakta untuk menyenangkan atasan
- Jaksa atau penyidik yang enggan menindak karena hubungan politik
- Laporan audit atau pengawasan yang dimanipulasi agar “tidak membuat masalah”
Akibatnya? Kejahatan yang nyata menjadi samar. Sementara keadilan yang seharusnya terang, justru dipelintir menjadi urusan “etik”, “aspirasi elite”, atau “bagian dari strategi politik”.
📉 Dampaknya: Pengungkapan Kejahatan Sistemik Terhambat
Sejumlah penyidik dan whistleblower internal mengakui — dalam banyak kasus besar:
- Bukti sudah kuat,
- Aliran dana sudah terlacak,
- Nama besar sudah teridentifikasi,
Namun laporan berhenti di meja, karena penjilat kekuasaan mengunci informasi, atau karena takut merusak citra “atasan yang sedang naik daun”.
đź’¬ Membangun Hukum Bukan Dengan Bunga, Tapi Duri
Penjilat tidak selalu membawa pujian. Kadang ia membawa kehancuran. Seperti cermin palsu yang memantulkan gambaran yang ingin dilihat, bukan yang seharusnya dilihat.
Jika keadilan ingin berdiri tegak di Indonesia, maka musuhnya bukan hanya koruptor, tapi juga mereka yang membiarkan koruptor tetap mulus berjalan — demi menyelamatkan karier, proyek, atau jabatan.
Menyelamatkan hukum dari para penjilat bukan tugas penguasa. Itu tugas warga negara. Dan itu dimulai dari satu keberanian kecil: berkata benar, meski di depan kekuasaan.
📌 Edu-Politik.com – Menyuarakan akal sehat di tengah kepalsuan loyalitas.