Di Balik Sertifikat Murah: Menguak Luka Warga Trosobo di Meja Hijau
Sidoarjo, Edu-Politik.com — “Katanya gratis atau cuma Rp150 ribu, tapi saya ditarik sampai dua juta lebih,” ungkap Suhariyanto dengan nada getir saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Ia bukan satu-satunya.
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digadang-gadang sebagai bentuk hadirnya negara dalam memberikan kepastian hukum atas tanah, kini menyisakan ironi di Desa Trosobo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo.
Dalam persidangan perkara dugaan pungutan liar (pungli) PTSL yang menyeret Kepala Desa Trosobo dan sejumlah perangkatnya, terkuak fakta bahwa sebagian warga dibebani biaya di luar ketentuan resmi. Padahal, menurut ketentuan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, biaya PTSL di Jawa Timur seharusnya tak lebih dari Rp150 ribu—sudah termasuk patok, materai, hingga biaya administrasi.
Namun, lain di atas kertas, lain pula kenyataan di lapangan.
Uang “Pengeringan Lahan” dan “Tanda Tangan Waris”
Beberapa saksi, termasuk Eko Budi Setiawan dan Sugianto, menyebut diminta uang hingga Rp2,5 juta untuk proses PTSL. “Katanya untuk pengeringan lahan,” ujar Eko dalam kesaksiannya. Ironisnya, sertifikat yang diterbitkan justru tetap mencantumkan zona hijau yang tak layak bangun. Jadi, ke mana larinya dana itu?
Sementara itu, saksi bernama Suciana menyampaikan bahwa ia harus membayar Rp300 ribu per bidang untuk tanda tangan waris. Uang tersebut sempat diterima oleh panitia, sebelum akhirnya dikembalikan. “Ini membuktikan bahwa pungutan itu ada, tapi coba disamarkan atau ditarik kembali saat kasus mulai ramai,” ujar jaksa dalam sidang.
Kesaksian Ahli dan Lubang Fakta
Dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sidoarjo, saksi Sujarwo membantah adanya biaya tambahan. Ia menyatakan seluruh proses sertifikasi sudah ditanggung dalam biaya resmi sebesar Rp150 ribu. Namun hakim terlihat tidak puas.
“Kalau semuanya resmi dan jelas, mengapa banyak warga mengaku diminta uang lebih? Ke mana dana-dana itu mengalir?” tanya hakim dengan nada tajam.
Panitia PTSL Desa Trosobo pun tak bisa mengelak. Supriyadi, bendahara panitia, mengakui bahwa pernah menyerahkan uang hingga Rp50 juta secara bertahap kepada Kepala Desa melalui orang kepercayaannya. Dana itu berasal dari pungutan warga.
Simbol Gagalnya Integritas Program Nasional?
PTSL sejatinya merupakan bagian dari janji Nawacita: tanah untuk rakyat, legalitas untuk yang tak bersuara. Namun kasus Trosobo justru mengungkap sisi gelap pelaksanaan program ini di lapangan. Ketika struktur desa tak memiliki kontrol akuntabilitas yang kuat, rakyat bisa jadi korban “peras-perasan” dengan tameng program negara.
“Yang kami mau cuma sertifikat yang sah, bukan dibebani hal-hal yang tak masuk akal,” ucap Suhariyanto setelah persidangan. Ucapan itu mewakili suara banyak rakyat kecil yang terpaksa memilih diam karena takut, karena tak mengerti, atau karena lelah berharap.
Mewaspadai Luka yang Sama
Kasus Trosobo adalah peringatan. Jika satu desa bisa seperti ini, berapa banyak lagi desa-desa lain yang mengalami hal serupa, tapi tak pernah sampai ke meja hijau?
Bagi negara, ini saatnya untuk bukan hanya menggembar-gemborkan program, tapi juga mengawal pelaksanaannya dengan mata terbuka dan tangan bersih.
Editor: Redaksi Edu-Politik.com
Kategori: Politik Lokal | Hukum dan Kebijakan | Edukasi Publik