Antara Angkringan, Anak di Bawah Umur, dan Etika Publik: Satpol PP Razia SLG Kediri, Rakyat Dapat Apa?
Oleh: Redaksi Edu-Politik.com
Kediri – Angkringan, warung tenda rakyat yang biasanya jadi tempat ngobrol santai sambil menyeruput kopi atau teh panas, mendadak menjadi pusat perhatian publik. Bukan karena menu nasi kucingnya, melainkan karena temuan yang mengejutkan saat razia Satpol PP Kabupaten Kediri di area Simpang Lima Gumul (SLG) pada Rabu malam, 2 Juli 2025.
Dalam razia itu, petugas mendapati belasan pramusaji menggunakan pakaian minim, dan lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa di antaranya masih di bawah umur. Sontak, wajah SLG yang semula hanya dikenal sebagai tempat wisata malam berubah menjadi simbol ironi antara hiburan rakyat dan pelanggaran nilai sosial.
Razia atau Refleksi Sosial?
“Ini bukan semata razia,” kata seorang pejabat Satpol PP kepada wartawan. “Kami menjalankan tugas menjaga ketertiban umum dan moralitas.”
Namun publik bertanya: mengapa fenomena ini bisa berulang? Apakah ini hanya masalah “pakaian tidak pantas”, atau ada akar struktural yang lebih dalam?
Anak di Bawah Umur: Dipakai, Ditinggalkan
Menurut laporan Radar Kediri dan investigasi lokal, sebagian pramusaji yang diamankan ternyata berusia belum genap 18 tahun. Mereka bekerja demi menghidupi diri sendiri, bahkan keluarga. Ada yang masih SMP, ada pula yang putus sekolah sejak pandemi.
Dibawa ke kantor Satpol PP, mereka menjalani asesmen psikologis oleh Dinas Perlindungan Anak. Namun, sejumlah aktivis menilai langkah itu belum cukup.
“Jika terbukti mereka dipekerjakan oleh pengusaha angkringan dengan jam malam dan pakaian provokatif, ini bukan hanya pelanggaran etika—tetapi juga pelanggaran hukum ketenagakerjaan dan perlindungan anak,” tegas LSM Gerak Indonesia.
Konsumen Tenang, Negara Goyang?
Yang ironis, pengunjung angkringan SLG tampaknya terbiasa. “Kami hanya ingin tempat nongkrong yang nyaman,” ujar salah satu pemuda, yang justru memprotes “keributan” razia.
Fenomena ini menunjukkan adanya normalisasi komersialisasi tubuh dan pekerja di bawah umur, yang diterima sebagian masyarakat sebagai ‘hiburan murah meriah’. Negara hadir, tetapi terlambat.
Edu-Politik: Apa yang Bisa Dipelajari?
- Kebijakan Publik Lemah
Regulasi perda tentang usaha malam dan pekerja usia anak ternyata tidak ditegakkan secara preventif. Razia menjadi solusi tambal sulam, bukan sistemik. - Ketimpangan Ekonomi Menyumbang Eksploitasi
Pramusaji di bawah umur bekerja bukan karena ingin, tapi karena perlu. Ini tanda bahwa kemiskinan struktural masih menjadi akar eksploitasi anak. - Tanggung Jawab Kolektif
Bukan hanya Satpol PP atau dinas sosial yang bertanggung jawab. Masyarakat, pemilik usaha, dan pemerintah desa harus terlibat dalam menciptakan ruang ekonomi yang layak bagi remaja.
Rakyat Dapat Apa?
Jika setiap pelanggaran moralitas hanya dijawab dengan razia, tanpa disertai perbaikan sistem pendidikan, ekonomi, dan perlindungan sosial, maka rakyat tidak mendapat apa-apa—selain tontonan viral dan satu malam ketertiban semu.
Dari Angkringan Menuju Kesadaran
Angkringan seharusnya jadi ruang hangat rakyat, bukan tempat menyembunyikan ketimpangan sosial. SLG bukan panggung sinetron realitas yang terus berulang dengan aktor-aktor baru: remaja miskin, aparat tegas, pengunjung pasif.
Sudah saatnya kita tanya:
Bukan hanya siapa yang ditertibkan, tapi siapa yang harusnya lebih dulu dibina—dan bagaimana negara membalas kerja keras rakyat kecil tanpa eksploitasi.
🟨 Edu-Politik.com mengajak pembaca untuk tidak sekadar membaca, tapi berpikir: apakah razia cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah sosial kita?