Dari Tengah Kebun Menuju FKG UGM: Langkah Kecil Sahida yang Menggetarkan Bangsa
Kulon Progo – Pagi itu, suara ayam bersahut di balik pepohonan pisang, dan embun masih menempel malu-malu di daun kelapa. Di tengah kebun di Desa Ngentakrejo, seorang gadis remaja mengenakan jilbab coklat sedang mencuci piring di dapur rumah bambu. Rumah itu—tanpa tembok semen dan berlantai tanah—berdiri sederhana di antara sawah-sawah yang membentang.
Tak disangka, beberapa menit kemudian, mobil kampus Universitas Gadjah Mada berhenti di jalan tanah. Turunlah Wakil Rektor dan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi. Mereka mencari satu nama yang membuat seluruh kampus gempar karena kisah perjuangannya: Sahida Ilmi.
Lahir dari Peluh Petani, Tumbuh dalam Cita-Cita
Sahida adalah anak kedua dari pasangan Sugi dan istri. Sang ayah sehari-hari bekerja sebagai petani musiman, buruh, dan kadang mengangkut kayu. Penghasilan tak menentu, tapi nilai yang ditanamkan dalam keluarga selalu tetap: “Sekolah adalah jalan keluar.”
“Bapak selalu bilang: Nduk, walau kita orang kebun, kamu harus bisa sekolah tinggi,” cerita Sahida, matanya berkaca-kaca.
Di SMA Negeri 1 Wates, Sahida bukan sekadar siswi biasa. Ia langganan masuk lima besar, aktif ikut O2SN, dan tekun mendalami biologi dan fisika. Tak pernah les, tak pernah punya HP mahal, tapi tekun membaca dan belajar dari buku bekas serta pinjaman.
Menembus Gerbang UGM
Lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), Sahida mencantumkan Fakultas Kedokteran Gigi UGM sebagai pilihan pertama—fakultas bergengsi yang tak semua siswa berani mimpi. Namun doa, kerja keras, dan restu dari rumah berdinding gedek itu, menjawab semuanya.
Pengumuman SNBP jadi momen sakral: Sahida diterima. Tangis keluarga pecah, bukan karena sedih, melainkan lega—mimpi dari kebun bisa tembus ke kampus terbaik negeri.
UGM Menjemput Pelita Desa
Kisah Sahida viral. Bukan karena ia mengemis simpati, tapi karena kisahnya menyentuh nurani. Saat UGM datang ke rumahnya, media sosial membuncah. Tapi suasana tetap sederhana. Sahida hanya tersenyum gugup, tangan masih bau sabun cuci piring.
“Ini bukan sekadar kunjungan,” kata Wakil Rektor UGM. “Ini bentuk penghargaan UGM pada pelajar-pelajar tangguh Indonesia yang tidak menyerah oleh keadaan.”
Harapan dari Tengah Sawah
Kini, Sahida bersiap pindah ke Yogyakarta. Ia akan meninggalkan rumah bambu dan memulai hidup baru sebagai mahasiswa kedokteran gigi. Tapi di hatinya, desa dan kebun tetap rumah utama.
Ia berjanji akan kembali. “Saya ingin suatu hari nanti, anak-anak desa seperti saya punya akses dokter gigi yang baik, yang paham rasanya hidup jauh dari kota.”
Penutup: Cahaya dari Sudut Terpencil
Kisah Sahida bukan hanya tentang kelulusan. Ia adalah simbol bahwa mimpi tidak kenal kelas sosial, bahwa tekad bisa lebih tajam dari pisau kemiskinan, dan bahwa kampus besar seperti UGM pun melihat bukan dari dompet, melainkan dari semangat dan nilai juang.
Di tengah gempuran konten viral kosong, Sahida hadir sebagai narasi yang meneduhkan:
Dari kebun yang sunyi, lahirlah cahaya harapan untuk Indonesia yang lebih adil.