Khofifah Turun ke Nganjuk: Koperasi Sudah Jadi, Rakyat Menanti Isi
Oleh Redaksi
“Bila koperasi adalah wadah, maka mari kita rayakan… wadah kosong yang sudah didirikan dengan sangat cepat.”
— Warga Imajinasi
Hari ini, angin sepoi-sepoi menyambut kedatangan orang nomor satu di Jawa Timur: Khofifah Indar Parawansa. Ia datang bukan untuk sidak pasar, bukan juga untuk menangani bencana. Tapi untuk merayakan sebuah prestasi yang, menurut pemerintah, sangat monumental: Nganjuk jadi kabupaten tercepat di Jawa Timur mendirikan Koperasi Merah Putih.
Tepat pukul 14.00 WIB, Pendapa KRT Sosrokoesoemo berubah menjadi panggung kehormatan. Wajah-wajah bahagia memenuhi ruangan. Plakat, piagam, kamera, dan senyuman para pejabat berjajar rapi. Sebuah tontonan yang nyaris sempurna—kecuali satu hal: rakyat kecil yang tidak mengerti koperasi apa yang dimaksud.
Koperasi Merah Putih: Dari Data ke Drama
Konon, sebanyak 8.494 koperasi Merah Putih telah berdiri di seluruh desa dan kelurahan di Jawa Timur. Nganjuk tercatat paling cepat: tuntas 100% sebelum kabupaten lain sempat membuka laptop.
Hebat bukan?
Tapi mari kita bertanya:
- Apa yang sudah dilakukan koperasi-koperasi itu?
- Apakah sudah ada warung, simpan pinjam, atau unit usaha?
- Ataukah masih sebatas SK dan papan nama dengan logo yang dicetak tergesa?
Jawaban dari warga: “Kami belum tahu apa-apa, tapi katanya koperasi kami sudah berdiri.”
Sungguh… ajaib. Sebuah prestasi administratif yang bisa membuat Houdini malu.
Apresiasi Dulu, Evaluasi Nanti (Mungkin)
Gubernur datang membawa apresiasi. Tentu. Ini bagian dari tata kelola birokrasi modern: yang penting target tercapai, masalah belakangan.
Bahkan kabarnya, Pemkab Nganjuk menerima bonus insentif atas capaian ini. Bukan untuk koperasinya, tentu saja, tapi untuk pemerintah daerahnya. Karena di negara kita, yang rajin didorong bukan petani atau pedagang, melainkan formasi excel dan pelaporan mingguan.
Akhirnya, Rakyat Hanya Penonton
Yang absen dalam keramaian ini adalah rakyat. Ya, mereka yang seharusnya menjadi pemilik koperasi. Mereka yang seharusnya punya saham harapan dalam Koperasi Merah Putih. Tapi hari ini, rakyat hanya jadi latar. Mereka tidak diajak bicara. Tidak tahu rencana bisnis. Bahkan mungkin tidak tahu bahwa koperasi atas nama mereka sudah di-launching minggu lalu.
Sungguh revolusioner: koperasi tanpa rapat anggota, tanpa program usaha, tapi sudah 100% berdiri.
Merah Putih Tak Boleh Kosong
Dalam sejarah, koperasi adalah instrumen perlawanan ekonomi terhadap kapitalisme. Tapi hari ini, koperasi bisa menjadi sekadar simbol. Warna merah putih ada di logonya, tapi isinya belum tentu sejiwa dengan amanat UUD 1945.
Kita tidak butuh koperasi cepat jadi, tapi koperasi yang hidup—menghidupi warganya, memberi ruang usaha, membentuk daya saing lokal.
Khofifah mungkin telah kembali ke Surabaya sore ini. Plakat sudah dibagikan, piagam sudah diterima. Tapi rakyat di desa masih menunggu—kapan koperasi mereka benar-benar bergerak?
Berita ini ditulis dengan semangat cinta pada rakyat dan gatal terhadap logika “lebih cepat lebih baik” yang melupakan esensi.
Karena koperasi bukan lomba lari. Ini perjuangan panjang.
Dan perjuangan tidak cukup dengan selebrasi.