Wisata Tak Jadi, Uang Pun Pergi: Sebuah Kisah Liburan yang Tak Pernah Datang
Tuban – Di tengah semangat anak-anak kelas VIII SMPN 1 Tuban menata koper dan ransel untuk liburan edukatif ke Pulau Dewata, kenyataan pahit datang: liburan dibatalkan, dan dana dikembalikan—dengan potongan Rp148 ribu per siswa. Entah siapa yang lebih patah hati, anak-anak yang gagal berwisata atau orang tua yang merasa dompetnya ikut terseret ombak Bali.
Dalam rapat penuh wibawa dan musyawarah, yang digelar Sabtu, 7 Juni 2025, panitia study tour, Komite Sekolah, dan perwakilan paguyuban wali murid menyepakati: Bali dibatalkan, demi alasan teknis yang—seperti sinyal Wi-Fi saat hujan—tidak dijelaskan secara gamblang.
“Ini sudah sesuai kesepakatan. Biaya muka tidak bisa kembali. Itu wajar dalam dunia per-travel-an,” ujar salah satu perwakilan sekolah, sambil menunjuk ke udara, seolah sedang membentuk tanda kutip tak kasat mata.
Misteri Angka 148 Ribu
Dari Rp1,5 juta yang dibayarkan 169 siswa, muncul angka magis: Rp148 ribu per anak dipotong untuk “biaya muka”—entah muka siapa, yang jelas bukan muka anak-anak yang urung swafoto di Tanah Lot.
“Uangnya kok nggak utuh dikembalikan? Bukti pembayarannya mana?” tanya salah satu wali murid, lebih penasaran daripada peserta kuis televisi. “Kami minta transparansi, bukan hipotesis.”
Namun pihak sekolah bersikukuh. “Kalau ingin bukti lebih detail, bisa ke pihak travel langsung. Kami hanya menyampaikan,” ucap Komite, seperti customer service yang mengarahkan pelanggan ke call center tanpa pulsa.
Komite Sekolah: Tidak Ada yang Disembunyikan
“Semua sudah dibahas. Kalau tidak percaya, ya monggo ditelusuri sendiri. Kita tidak bisa refund full karena itu sudah perjanjian dengan penyedia jasa,” lanjut perwakilan sekolah, sambil menambahkan bahwa kegiatan ini sejak awal “tidak wajib”.
Lucunya, para siswa sepertinya tidak pernah mendengar kata “tidak wajib” itu, karena mereka mengaku tidak punya alternatif kegiatan lain selain ikut tour. Beberapa bahkan sudah membeli topi pantai dan sandal jepit bertuliskan “Bali 2025”.
Dinas Pendidikan: Surat Sudah Jelas
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tuban, Abdul Rakhmat, tak tinggal diam. Ia menyebut pembatalan ini selaras dengan Surat Edaran larangan pungutan untuk kegiatan non-akademik, yang dikeluarkan sejak Mei 2025. Namun ia juga mengimbau: “Jangan memberatkan wali murid.” Sayangnya, berat atau tidak, Rp148 ribu tetap terasa seperti batu di kantong plastik.
Sisi Lain: Bukan Sekolah Pertama, Bukan yang Terakhir
Sumber menyebut, beberapa sekolah lain di Tuban juga membatalkan tur, namun ada yang mengembalikan hampir utuh, hanya memotong Rp20 ribu untuk biaya administrasi. Sekolah lain bahkan menggunakan metode “open table” dengan wali murid, untuk memilih: refund atau jadwal ulang. Sayangnya, tidak semua sekolah punya SOP selembut itu.
Liburan yang Tinggal Cerita
Kini, anak-anak kembali ke rutinitas: bukan naik bus pariwisata, tapi naik angkot ke les sore. Bali tetap di peta, namun jauh dari jangkauan. Sementara Rp148 ribu—jumlah yang cukup untuk membeli lima gelas es degan dan satu kaos “I ♥ Bali”—telah hilang dalam kabut birokrasi.
Apakah ini studi wisata atau studi nyata tentang realitas? Yang jelas, ini bukan soal refund semata, tapi soal rasa keadilan yang (lagi-lagi) tidak ikut berangkat.