Militerisasi Pendidikan dan Krisis Paradigma Sekolah: Tinjauan Kritis terhadap Program Sekolah di Barak Militer dalam Perspektif Hukum dan Filsafat Pendidikan Indonesia
Oleh : Salim
Abstrak:
Program pemindahan siswa ke barak militer atas nama pendisiplinan menimbulkan polemik tajam dalam dunia pendidikan Indonesia. Artikel ini mengkaji secara kritis dan sistematis gagasan tersebut dalam kerangka hukum pendidikan nasional dan prinsip pedagogi progresif. Dengan pendekatan kualitatif normatif, artikel ini menunjukkan bahwa praktik tersebut tidak hanya kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), tetapi juga mengandung implikasi ideologis berupa militerisasi ruang sipil yang mengancam nilai-nilai demokratis dan humanis dalam pendidikan.
Pendahuluan
Fenomena siswa yang dianggap tidak disiplin memang memerlukan penanganan serius oleh institusi pendidikan. Namun, solusi yang ditawarkan seharusnya tetap berada dalam koridor pedagogis. Belakangan, usulan dan praktik pemindahan siswa ke barak militer sebagai bentuk “pendidikan” menuai kritik tajam, termasuk dari MAARIF Institute yang menyatakan bahwa langkah tersebut berpotensi merusak sistem pendidikan.
Apakah militerisasi sekolah adalah jawaban atas krisis kedisiplinan siswa, atau justru cerminan kegagalan sekolah dalam memaknai esensi pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia?
Landasan Hukum Pendidikan Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa:
- Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika pendidikan diselenggarakan di institusi militer, maka terdapat deviasi makna dan fungsi pendidikan. Militer bukan lembaga pedagogis; ia didesain untuk kepatuhan absolut dan logika hierarkis, bukan untuk mendidik melalui dialog, empati, dan nalar kritis.
Analisis Kritis: Disiplin atau Represi?
Pendidikan memiliki model pendisiplinan berbasis internalisasi nilai, bukan sekadar kepatuhan eksternal. Konsep disiplin dalam pendidikan mestinya mengacu pada self-regulation, bukan obedience by force. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, mengkritik praktik pendidikan yang menindas sebagai bentuk dehumanisasi.
Barak militer sebagai tempat “pendidikan” menciptakan relasi kuasa yang asimetris, mereduksi siswa menjadi objek, bukan subjek yang merdeka belajar. Ini bertentangan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang digagas Kemendikbudristek sendiri.
Militerisasi Ruang Sipil: Bahaya Laten Ideologis
Langkah memindahkan siswa ke barak militer adalah bentuk soft militarism—penanaman logika militer dalam praktik sipil. Hal ini berbahaya karena:
- Menggeser otoritas pendidikan dari guru ke aparat militer.
- Mewariskan budaya kekerasan simbolik.
- Menghilangkan ruang dialog dan penyelesaian masalah berbasis pendekatan psikologis dan konseling.
Konstitusi UUD 1945 menjamin kebebasan berpikir dan pengembangan kepribadian warga negara melalui pendidikan yang berkeadaban. Program semacam ini mengancam prinsip tersebut.
Solusi Alternatif: Reformasi Internal Sekolah
Jika sekolah gagal membentuk disiplin, maka yang perlu dilakukan adalah:
- Peningkatan kualitas guru dan konselor sekolah.
- Penguatan budaya sekolah yang dialogis dan partisipatif.
- Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila.
- Kolaborasi dengan psikolog dan ahli pendidikan untuk intervensi kasus siswa berisiko.
Kesimpulan
Program pendidikan siswa di barak militer bukanlah solusi atas krisis kedisiplinan, melainkan gejala dari lemahnya sistem pendidikan dalam menjalankan fungsi pedagogisnya. Solusi militeristik hanya akan memperparah dehumanisasi peserta didik dan bertentangan dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang Sisdiknas. Perbaikan sistem harus dimulai dari dalam sekolah, bukan dengan outsourcing nilai-nilai pendidikan ke institusi non-pedagogis.