Pendidikan untuk Semua: Ketika Mimpi Anak Bangsa Tak Lagi Terhalang Biaya
Kediri —edu-politik.com
Langit Kediri masih teduh ketika puluhan peserta upacara berdiri khidmat di halaman belakang Kantor Pemerintah Kabupaten Kediri. Jumat pagi itu (3/5), suasana terasa berbeda. Bukan hanya karena bendera merah putih yang berkibar gagah, tapi juga karena semangat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang berpadu dengan peringatan Hari Otonomi Daerah ke-29. Di tengah barisan, Wakil Bupati Kediri, Dewi Mariya Ulfa, berdiri sebagai inspektur upacara. Dengan suara lantang namun penuh kehangatan, ia menyampaikan pesan penting: bahwa setiap warga negara, tanpa kecuali, berhak mendapatkan pendidikan.
Pernyataan Wabup Dewi bukan sekadar pengulangan semboyan klasik. Ia menyambung pesan nasional dengan semangat lokal. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto baru saja mencanangkan program Sekolah Rakyat, sebuah terobosan untuk menjawab keresahan lama: anak-anak tak bersekolah karena tak punya biaya. “Tidak ada alasan lagi,” tegasnya. Karena kini, negara sudah menyediakan jalan—tinggal kita, masyarakat dan pemangku kebijakan di daerah, yang harus membuka pintu dan mendorong langkah anak-anak kita untuk masuk ke dalamnya.
Namun kenyataan di lapangan masih menunjukkan sisi gelap. Di beberapa sudut desa, masih bisa ditemui anak-anak yang lebih akrab dengan ladang atau pekerjaan kasar ketimbang ruang kelas. Beberapa di antara mereka bahkan tak tahu bahwa mereka punya hak untuk sekolah, apalagi tahu soal program Sekolah Rakyat. Di sinilah titik krusialnya: persoalan pendidikan bukan hanya soal biaya, tapi juga soal kesadaran dan kepedulian kolektif.
Solusinya tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat. Pemerintah daerah, guru, tokoh masyarakat, hingga keluarga perlu bersinergi. Edukasi soal hak pendidikan dan akses program harus digencarkan, terutama ke pelosok. RT dan RW bisa berperan aktif mendata anak putus sekolah. Guru bisa berperan sebagai pendamping dan penggerak. Orang tua pun perlu terus didorong untuk mengutamakan pendidikan, bukan malah menyerah pada keadaan.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya jadi ajang seremoni tahunan. Ia harus menjadi alarm pengingat: bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dan setiap anak yang masih tertinggal, adalah tanggung jawab kita untuk menyusulnya.
Karena itu, pertanyaannya sekarang adalah: sudahkah kita benar-benar memastikan tak ada anak di lingkungan kita yang tertinggal sekolah? Jika jawabannya belum, maka mari bergerak. Tidak harus besar—cukup dengan memberi tahu tetangga tentang adanya Sekolah Rakyat, atau melaporkan anak putus sekolah ke dinas terkait. Pendidikan dimulai dari kepedulian.